Selasa 26 May 2015 12:50 WIB

UU Anti-Islam di Myanmar Picu Perpecahan Agama

Rep: C24/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pengungsi Rohingya di Lhoksukon, Aceh.
Foto: Reuters
Pengungsi Rohingya di Lhoksukon, Aceh.

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Presiden Myanmar Thein Sein menandatangani Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang kesehatan yang mengontrol populasi jumlah penduduk.

Sebagaimana dilansir laman berita tibune.com.pk, Senin (25/5) menurut para aktivis Hak Asasi Manusia RUU tersebut akan digunakan untuk menekan populasi jumlah Muslim di negara itu.

Undang-undang ini didukung oleh kelompok Komite ultra-nasionalis Buddha untuk Perlindungan Kebangsaan dan Agama, yang dikenal sebagai Ma Ba Tha.

Pemerintah Amerika Serikat sendiri mengatakan undang-undang, yang disebut UU Perlindungan 'Hukum bagi Ras dan Agama', memiliki potensi untuk memperburuk perpecahan rasial dan agama di negara ini.

Hal tersebut dikemukakan menanggapi Rancangan Undang-Undang di Myanmar yang menargetkan satu agama, satu populasi di negara itu.

Sebagamana dilansir laman berita tibune.com.pk, Senin (25/5) Washington dan PBB telah meminta Myanmar untuk mengatasi diskriminasi dan kekerasan terhadap etnis Muslim Rohingya.

Mereka mengatakan kebijakan pemerintah terhadap minoritas Rohingya adalah akar penyebab migrasi massal yang telah menyebabkan krisis kemanusiaan berlangsung di laut di Asia Tenggara.

Kelompok-kelompok lain juga telah menyatakan keprihatinan bahwa hukum yang diskriminatif bisa memperburuk ketegangan di negara bagian Rakhine di mana kekerasan antara umat Buddha dan Muslim Rohingya pecah pada tahun 2012.

"Dalam kasus Rakhine khusus, itu hanya akan menciptakan kesalahpahaman antara dua komunitas," kata Nwe Zin Win, kepala kelompok hak-hak perempuan Yangon berbasis di Pyi Gyi Khin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement