REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA – Penyakit akibat penyalahgunaan tembakau adalah salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan masyarakat dunia. Setiap enam detik, satu orang meninggal karena penyakit akibat tembakau, setara dengan hampir enam juta orang per tahun.
Angka tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari delapan juta orang per tahun pada tahun 2030. Dengan lebih dari 80 persen kematian terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Karenanya, organisasi kesehatan dunia (WHO) mendesak negara-negara anggota untuk menandatangani "Protokol untuk Menghilangkan Perdagangan Gelap Produk Tembakau". Hal itu dilakukan untuk menyambut Hari Tanpa Tembakau Sedunia (World No Tobacco Day) yang jatuh pada 31 Mei.
WHO menyampaikan, hilangnya perdagangan tembakau ilegal akan menghasilkan tambahan pajak tahunan 31 miliar dolar AS untuk pemerintah. Belum lagi meningkatnya kesehatan masyarakat, berkurangnya kejahatan, dan bertambahnya sumber pendapatan penting bagi industri tembakau.
"Protokol menawarkan pada dunia instrumen hukum yang unik untuk melawan dan menghilangkan kegiatan kriminal yang canggih. Jika sepenuhnya bisa dilaksanakan, itu akan mengisi pendapatan pemerintah dan meminimalisir pengeluaran untuk kesehatan,” kata Dr Margaret Chan, Direktur Jenderal WHO.
Sejauh ini, baru delapan negara yang meratifikasi protokol itu. Jumlah tersebut masih jauh dari target 40 negara yang diperlukan agar protokol itu menjadi hukum internasional. Protokol itu adalah hasil negosiasi pihak WHO Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC WHO), yang telah diratifikasi oleh 180 pihak.
Protokol ini memerlukan berbagai tindakan yang berkaitan dengan rantai pasokan tembakau, termasuk perizinan impor, ekspor dan pembuatan produk tembakau; pembentukan pelacakan dan sistem pelacakan, serta pengenaan sanksi pidana pada pelaku. Hal ini juga akan mengkriminalisasi produksi gelap dan penyelundupan lintas perbatasan.
"Protokol menghadapi perlawanan terbuka dan rahasia dari industri tembakau. Produsen tahu bahwa setelah dilaksanakan, menjadi jauh lebih sulit untuk menghubungkan orang-orang muda dan orang miskin yang kecanduan tembakau," kata Dr Vera da Costa e Silva, Kepala Sekretariat FCTC WHO.