REPUBLIKA.CO.ID, DALLAS -- Para peneliti menyesalkan kurangnya program konseling pra-nikah atau tindakan pencegahan dari dalam masyarakat Muslim Amerika untuk menghindari tingginya angka perceraian.
"Para pemimpin agama seperti imam dapat memberikan konseling. Tapi, mereka cenderung memiliki pelatihan terbatas dalam isu konseling dan psikologi," tulis Amal Killawi, peneliti ISPU dari University of Michigan, dilansir onislam.net, Selasa (2/6).
Seorang pria dari Florida menceritakan, ia dan mantan istrinya praktis ditertawakan oleh keluarga ketika mereka mengungkapkan keinginan untuk mengikuti konseling pra-nikah.
"Banyak pasangan muda ingin mengenal seseorang sebelum mereka menikah, tapi semua orang mengatakan tidak perlu. Orang telah menikah selama bertahun-tahun dan mereka tidak pernah melakukan itu, jadi apa gunanya," kenangnya.
Perkawinan lintas budaya memiliki risiko paling rentan untuk bercerai. Dorothy Hayes yang baru bercerai dengan pria Muslim asal Tunisia, mengatakan suaminya sering menggunakan agama sebagai alat pembenaran atas perilaku buruknya.
Sementara itu, Layla Fakhri dari Texas mengaku mengalami hambatan bahasa. Dia tidak tahu bahasa Arab, sementara suaminya berbicara dengan bahasa Arab di depannya sepanjang waktu. Masalah ini berkembang menjadi ketidakpercayaan dan kemarahan dalam pernikahan.
Seringkali pasangan yang lahir di Amerika menginginkan konseling untuk memperbaiki hubungan, tapi imigran Muslim enggan atau bahkan menolak untuk membahas perkawinannya dengan siapa pun, termasuk suami atau istrinya.
Sikap ini, beserta stigma budaya yang melekat pada konseling pra menikah, tidak hanya merugikan hubungan suami istri, tetapi juga bertentangan dengan ajaran Alquran.