Jumat 05 Jun 2015 17:25 WIB

AS Tuduh Cina Retas Data Pemerintahan

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Esthi Maharani
Hacker (ilustrasi)
Hacker (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Komputer pemerintahan Amerika Serikat diretas pihak tidak dikenal, Kamis (5/6). Peretasan ini kemungkinan mengorbankan data personal empat juta karyawan federal AS.

Penyidik menuduh peretas berasal dari Cina. Mereka menghubungkan insiden dengan kejadian peretasan sebelumnya pada data perawatan kesehatan perusahaan asuransi kesehatan terbesar AS, Anthem Inc dan penyedia layanan kesehatan Premera Blue Cross.

Kali ini, badan pemerintahan yang diretas adalah Office of Personnel Management (OPM) yang memiliki sistem teknologi tinggi. Kantor ini menangani catatan karyawan dan izin keamanan.

Seorang sumber penegak hukum AS mengatakan pelaku dicurigai adalah pemerintah asing. Pihak berwenang melihat kemungkinan hubungannya dengan Cina, sementara Cina menyangkalnya.

Juru bicara kementerian luar negeri Cina, Hong Lei mengatakan tuduhan tersebut sangat tidak bertanggungjawab. Ia menilai serangan peretasan memang sering kali terjadi, melintasi perbatasan dan sulit untuk dilacak. Namun, menuduh tanpa bukti dan penyelidikan yang dalam sangat tidak bertanggungjawab dan tidak ilmiah.

''Beijing berharap AS tidak menuduh dan berhenti membuat tuduhan yang tidak terverifikasi,'' kata Hong. Ia juga berharap AS menunjukan sikap lebih percaya dan berpartisipasi dalam kerjasama.

Serangan peretasan dideteksi OPM pada April. Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHC) menyimpulkan pada awal Mei, bahwa data sekitar empat juta karyawan OPM terimbas. Pihak berwenang tidak menjelaskan jenis informasi apa yang diakses.

Peretasan ini menyerang sistem IT OPM dan penyimpanan data di pusat data Departemen Dalam Negeri. Pusat data ini merupakan pusat layanan yang terbagi dengan badan-badan federal. Ini bukan pertama kalinya OPM jadi korban serangan siber.

Tahun lalu, New York Time melaporkan peretas Cina dituduh memasuki jaringan komputer OPM. Peretas menargetkan data puluhan ribu karyawan yang melamar untuk izin keamanan tinggi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement