REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Seorang pria Pakistan mendapat penangguhan hukum beberapa jam sebelum dieksekusi, Selasa (9/6). Penangguhan itu menjadi penangguhan keempat atas eksekusinya.
Menurut pengacaranya, pria itu divonis mati saat masih anak-anak atas perkara pembunuhan. Pria itu mengaku setelah disiksa.
Firma hukum hak asasi manusia Proyek Keadilan Pakistan (JPP) yang mendampingi Shafqat Hussain mengatakan Mahkamah Agung di Islamabad setuju mendengarkan bandingnya atas keputusan pengadilan sebelumnya, yang menolak penyelidikan kembali atas perkara tersebut. Mahkamah Agung menunda sidang itu hingga Rabu.
Dalam perkara terpisah, seorang terpidana mati lain yang oleh para pegiat juga dikatakan didakwa saat masih anak-anak, akan dihukum gantung pada Rabu di kota Lahore. Aftab Bahadur dihukum mati atas pembunuhan pada 1992, namun kelompok HAM Reprieve mengatakan kedua saksi yang memberatkannya kemudian mencabut kesaksian mereka dan mengaku mereka disiksa.
Dalam sebuah surat dari penjara, Bahadur mengulang pernyataan ia tidak bersalah dan masih berumur 15 tahun pada 1992. Pengacaranya menyerahkan dokumen-dokumen yang membantah pernyataan jaksa penuntut ia saat itu berusia 21 tahun.
"Saya sudah menjalani hukuman seumur hidup yang mengerikan ini, dan mereka masih ingin saya mendapat hukuman lagi pada Rabu, hukum mati dengan digantung," katanya setelah lebih dari 22 tahun berada di bui.
JPP mengajukan permohonan terpisah kepada Presiden Mamnoon Hussain dan mendesak agar keduanya diberi grasi.
Keduanya merupakan sebagian dari lebih 8.000 narapidana vonis mati. Menurut catatan Reprieve, angka itu merupakan angka tertinggi dibandingkan negara manapun.