REPUBLIKA.CO.ID, MOSUL -- Satu tahun sudah, kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menguasai kota terbesar kedua di Irak, Mosul. Militan masih menerapkan daftar panjang berbagai larangan di kota tersebut.
Seperti dilansir The Wall Street Journal, Rabu (10/6), militan ISIS memang telah memperbaiki jalan-jalan di Mosul dan sejumlah tempat lain yang rusak akibat pertempuran untuk merebut kota tersebut pada 10 Juni 2014. Namun, perbaikan tersebut harus dibayar mahal warga dengan rentetan aturan ketat yang diterapkan ISIS pada warga di kota itu.
Mosul dan penduduknya pun telah berubah. Kini tak ada lagi kuil ikonik atau masjid yang menjulang tinggi. Para militan percaya beribadah di kuil bukanlah sesuatu hal yang suci.
Gereja-gereja kuno telah menjadi garasi untuk penjualan hasil rampasan perang ISIS. Penduduk Kristen asli dan minoritas lain telah diusir tahun lalu, di bawah ancaman kematian.
Kampanye untuk merebut kembali Mosul merupakan hal terpenting dari strategi militer koalisi pimpinan Amerika Serikat saat ini. Tapi rencana serangan balasan kerap ditunda. Hal ini dimanfaatkan militan untuk mengambil hati penduduk.
"Negara Islam melakukan segalanya untuk menjaga Mosul. Ibu kota kekhalifahan mereka di sini. Ini akan menjadi bencana jika tetap di tangan mereka," kata Kepala Staf Presiden wilayah Kurdistan Fuad Hussein.
Setiap bulannya para warga diminta membayar upeti sebesar 500 dolar. Jika tidak memenuhi hal itu, militan akan mengancam hidup mereka.
Makanan pokok memang menjadi lebih banyak dan murah, kerena ISIS membanjiri pasar dengan produk sendiri yang tumbuh di Suriah. Tapi harga bahan bakar dan diesel dimonopoli kelompok itu.