Selasa 16 Jun 2015 19:02 WIB

Presiden Sudan Akhirnya Keluar dari Afsel

Presiden Sudan Omar el-Basyir.
Foto: AP Photo/Amr Nabil
Presiden Sudan Omar el-Basyir.

REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG -- Presiden Sudan Omar al-Bashir keluar dari Afrika Selatan, Senin, dan melanggar perintah pengadilan untuk tetap di negara tersebut ketika hakim mempertimbangkan penahanannya atas dugaan kejahatan perang dan pemusnahan.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengatakan "kecewa" atas kegagalan Afrika Selatan mematuhi seruannya menahan Bashir dengan perintah penangkapan, yang sudah lama dikeluarkan terkait perang Darfur.

Saat pesawatnya lepas landas pada hari terakhir pertemuan puncak pemimpin Uni Afrika di Johannesburg, pengadilan setempat masih melakukan sidang mendengarkan alasan terkait permohonan memaksa pihak berwenang menahannya.

"Sikap kami selalu adalah bahwa kewajiban Afrika Selatan jelas dan tegas. Mereka memiliki kewajiban untuk menahannya," kata wakil kepala penuntut ICC James Stewart kepada AFP.

Setelah Bashir pergi, hakim Afsel Dunstan Mlambo juga mengeluarkan teguran keras atas diabaikannya perintah pengadilan, yang meminta pihak berwenang menahannya.

"Tindakan responden -- bahwa mereka telah gagal mengambil langkah untuk menangkap dan menahan (Bashir) -- tidak konsisten dengan konstitusi Republik Afrika Selatan," kata Mlambo.

Keberangkatan Presiden Bashir secara tergesa-gesa dari bandara militer Waterkloof di luar Pretoria memantik kemarahan kelompok hak asasi manusia.

"Ketika ia lepas landas dari Afrika Selatan hari ini, ia pergi bersama harapan ribuan korban kejahatan serius di Darfur yang menginginkan keadilan ditegakkan," kata Human Rights Watch dalam pernyataan.

"Dengan mengizinkan penerbangan memalukan ini, pemerintah Afrika Selatan telah mengabaikan bukan hanya kewajiban hukum internasional, namun juga pengadilannya sendiri," katanya.

Afsel merupakan penandatanganan ICC yang berbasis di Den Haag, yang sering kali dikritik karena hanya menyasar para pemimpin Afrika.

Bashir yang mengenakan pakaian tradisional jubah putih, tersenyum dan melambaikan tongkatnya di udara saat turun dari tangga pesawat setelah mendarat kembali di Khartoum, kemudian menaiki sebuah mobil beratap terbuka dikelilingi pendukungnya.

Mugabe serang ICC

Para pejabat Sudan di Johannesburg sebelumnya mengabaikan seruan pengadilan itu dan mengatakan bahwa pemerintah Afsel telah memberikan jaminan untuk kunjungan Bashir.

Dalam KTT tersebut, Bashir pada Minggu ikut dalam foto bersama Presiden Afsel Jacob Zuma dan Presiden Zimbabwe Robert Mugabe, yang saat ini menjadi ketua Uni Afrika (UA) yang beranggotakan 54 negara itu.

"Ini bukan markas ICC dan kami sama sekali tidak membutuhkannya di kawasan ini," kata Mugabe saat jumpa pers dalam penutupan KTT.

"Ada pandangan bahwa kita harus menjaga jarak dengan ICC, namun sayang pakta yang dibuatnya tidak ditandatangani oleh UA, namun oleh negara-negara secara individual," tambah dia.

Dakwaan ICC tersebut terkait dengan kawasan Sudan Barat di Darfur, yang meletus menjadi kawasan konflik pada 2003 ketika pemberontak kulit hitam bangkit menentang pemerintahan Bashir yang didominasi keturunan Arab, dan mengeluhkan upaya meminggirkan mereka.

Khartoum melakukan aksi berdarah melawan pemberontakan dengan menggunakan angkatan bersenjata dan pasukan milisi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan 300 ribu orang tewas dalam konflik dan 2,5 juta lainnya terpaksa mengungsi meninggalkan rumah mereka.

Pemerintah Afrika Selatan mengatakan mereka akan "menyelidiki kondisinya", bagaimana Bashir meninggalkan negara itu meski ada perintah pengadilan, yang didapatkan oleh Pusat Litigasi Afrika Selatan, sebuah kelompok HAM.

"Ini memalukan buat Afrika Selatan," kata Jakkie Cilliers dari Institut Studi Keamanan kepada AFP.

"Perasaan saya adalah, bahwa dengan membolehkannya masuk, mereka ingin menunjukkan kepada dunia posisi bersama Afrika dalam ICC," katanya.

ICC menyerukan kepada Afsel "untuk tidak melewatkan upaya memastikan pelaksanaan perintah penangkapan" terhadap Bashir (71) yang merebut kekuasaan di Sudan melalui kudeta pada 1989.

Amerika Serikat yang tidak termasuk negara penandatanganan ICC mengatakan, "kecewa tidak ada aksi yang dilakukan" oleh Afsel.

Sekjen PBB Ban Ki-moon mengatakan perintah penangkapan merupakan "hal yang saya anggap sangat serius dan pihak berwajib di ICC harus menghormatinya".

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement