REPUBLIKA.CO.ID, QUEENSLAND -- Bocoran data yang didapatkan redaksi ABC menunjukkan pembukaan lahan di Queensland sepanjang tahun 2014 lalu seluas 278 ribu hektare. Angka ini meningkat tiga kali lipat dibandingkan pembukaan lahan pada tahun 2009
Skala pembukaan lahan ini sendiri diperkirakan lebih luas dari kawasan ACT, padahal ketentuan membatasi satu perusahaan hanya dibolehkan melakukan pembukaan lahan seluas 600 kilometer persegi.
Martin Taylor dari kelompok konservasi WWF menyebut pembukaan lahan di Queensland melesat cepat seperti meteor dan sangat mengkhawatirkan.
Lonjakan pembukaan lahan ini dinilai merupakan dampak langsung dari perubahan Undang-Undang Vegetasi yang terjadi di bawah pemerintahan sebelumnya di Negara Bagian Queensland yang dipimpin oleh Campbell Newman.
Gagasan utama dari UU itu adalah untuk lebih memudahkan para petani membuka lahan mereka dan membuka jalan bagi proyek-proyek pertanian bernilai tinggi yang akan menghadirkan pasar kerja dan juga produktivitas di kawasan itu.
Tapi WWF mengatakan pembukaan lahan di bawah celah hukum ini memiliki konsekuensi serius.
Jika 24 dari 47 persetujuan pembukaan lahan di Queensland disetujui, maka itu akan menambah 12 juta ton karbondioksida (Co2) ke atmosfer, " kata Taylor baru-baru ini.
"Untuk menempatkan perspektif ini, Pemerintah Federal baru saja membeli pengurangan karbon pertanian sebesar 28 juta ton melalui program Lelang Aksi Langsung - pertama mereka, karenanya pembukaan lahan ini sama saja dengan menambahkan sekitar 40 persen emisi karbon yang baru saja dibeli oleh Pemerintah Federal melalui program pengurangan emisi karbon mereka," katanya.
"Ini benar-benar merusak apa yang hendak dilakukan Pemerintah Federal melalui program Aksi Langsungnya."
Menurut Martin Taylor saat ini terjadi banyak pembukaan lahan yang bersifat terburu-buru karena petani takut undang-undang itu akan diperketat.
"Orang-orang mengambil keuntungan selama masih berlakunya payung hukum ini," kata Taylor.
Pada 2013, pemerintah Liberal-Nasional yang baru terpilih mengamandemen UU Kerangka Pengelolaan Vegetasi ini sehingga memudahkan petani untuk membuka lahan mereka dari vegetasi asli untuk memungkinkan "bernilai tinggi" kegiatan pertanian.
Keputusan ini membuat para ilmuwan dan kelompok-kelompok lingkungan khawatir pembukaan lahan berskala luas akan kembali melanda negara bagian ini pada awal milenium mendatang.
Dalam upaya untuk menghentikan kenaikan pembukaan lahan ini, Associate Professor Martine Maron, seorang ilmuwan lingkungan dari Universitas Queensland, bersama dengan 20 ilmuwan terkait lainnya menyurati Pemerintah ALP dan mendesak mereka untuk "mempertimbangkan konsekuensi lingkungan yang tidak bisa dikembalikan lagi dari pembukaan lahan ini.
Namun menurut Profesor Maron, para ilmuwan belum menerima tanggapan.
"Kami memiliki tujuan nasional untuk meningkatkan jumlah vegetasi pada tahun 2020 tetapi tidak hanya sepertinya kita akan gagal mencapai tujuan itu tapi juga kita benar-benar menuju ke arah yang berlawanan," kata dia.
Sementara itu Menteru Sumber Daya Alam dan Pertambangan Queensland, Anthony Lyneham menolak permohonan wawancara ABC namun dalam pernyataannya menyebutkan kalau Pemerintah Queensland akan terus berbicara dengan seluruh pihak terkait mengenai janji kampanye mereka namun tidak seperti pemerintahan LNP sebelumnya kami tidak akan bertindak gegabah,"
Profesor Maron mengatakan masyarakat perlu mengetahui rincian dari apa yang terjadi dengan pembukaan lahan tersebut dan menyoroti dampak dari pembukaan lahan tersebut.
"Pembukaan lahan mengancam komitmen nasional Australia pada sejumlah bidang, termasuk mencegah kepunahan, mengurangi emisi dan meningkatkan kualitas perairan di terumbu karang," kata Profesor Maron.
Taylor mengatakan hal itu juga penting mengingat ada jutaan hewan asli yang akan kehilangan habitat mereka sebagai hasilnya.
"Kembali pada tahun 2000-an, diperkirakan ada 100 juta hewan asli yang mati sebagai akibat dari pembukaan lahan setiap tahun, dan Anda tahu saat ini kita turun drastis hampir setengah dari pencapaian kita saat ini," katanya.
Disclaimer:
Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement