Selasa 23 Jun 2015 09:24 WIB

Kelompok Buddha Myanmar Desak Larangan Hijab

Rep: c38/ Red: Esthi Maharani
Sejumlah anak imigran etnis Rohingya asal Myanmar mengikuti pendidikan dari relawan di tempat pengungsian sementara di Beyeun, Aceh Timur, Aceh, Ahad (31/5).  (Antara/Zabur Karuru)
Sejumlah anak imigran etnis Rohingya asal Myanmar mengikuti pendidikan dari relawan di tempat pengungsian sementara di Beyeun, Aceh Timur, Aceh, Ahad (31/5). (Antara/Zabur Karuru)

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO – Sekelompok penganut agama Buddha berpengaruh di Myanmar menyerukan larangan hijab di sekolah-sekolah. Menurut kelompok ini, jilbab tidak sejalan dengan disiplin sekolah.

“Kami akan mengajukan tuntutan serius pada pemerintah untuk melarang siswa Muslim mengenakan burqa di sekolah-sekolah pemerintah,” tulis Ma Ba Tha, sebuah organisasi perlindungan ras dan agama, dalam sebuah pernyataan yang dikutip Guardian, Selasa (23/6).

Ma Bha Ta juga melarang pembunuhan hewan tak berdosa dalam perayaan Idul Adha. Tuntutan ini diumumkan dalam konferensi akhir pekan lalu yang digelar di Rangoon untuk membahas rencana mempromosikan agenda nasionalis menjelang pemilu tahun ini.

Dihadiri oleh sekitar 1300 biarawan, konferensi itu merilis daftar rekomendasi untuk memberlakukan pembatasan lebih lanjut pada komunitas Muslim di negara itu.

Biksu U Pamaukkha dari Ma Bha Ta mengatakan, “Ketika Muslim tinggal di Myanmar, mereka harus mematuhi hukum dan peraturan negara. Kami tidak menargetkan atau menyerang agama mereka".

Kelompok ini juga mengatakan akan menyeru orang-orang di jalur yang ‘benar’ ketika datang pemilu November mendatang. Mereka akan mendorong orang untuk memilih kandidat yang tidak akan membiarkan ras dan agama Buddha menghilang.

Berdiri dua tahun lalu, kelompok Buddha Ma Bha Ta telah berulang kali dituduh menyebarkan kekerasan antar-komunal di negera yang tengah bergejolak ini, lewat tindakan sektarian pada kelompok Muslim. Para ahli memperingatkan pengaruh negatif dari gerakan nasionalis itu.

“Ma Ba Tha telah menjadi kekuatan politik yang tidak akuntabel dan sombong berdasarkan pandangan ekstremis agama dan sosial, seolah menggunakan Buddhisme untuk melayani kepentingan politik dan ekonomi,” kata David Mathieson, peneliti senior Myanmar untuk hak asasi manusia.

Antara 2012-2013, serangan massal umat Buddha telah menewaskan ratusan Muslim Rohingya, sementara lebih dari 140 ribu orang melarikan diri dari rumah mereka. Diperkirakan 120 ribu pengungsi Myanmar hidup di kamp-kamp sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement