REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Polisi Xinjiang menyerang warga Muslim Uighur di selatan Kota Kashgar, Rabu (24/6). Serangan ini dilakukan sebagai balas dendam atas klaim serangan bom di pos pemeriksaan. Tersangka diklaim membunuh sejumlah polisi dengan pisau dan bom di pos pemeriksaan.
Polisi menewaskan setidaknya 15 Muslim Uighur. Balas dendam ini dilakukan pada awal bulan suci Ramadhan.
Seperti diketahui, kekerasan pada Muslim Uighur terus terjadi selama beberapa tahun terakhir. Insiden ini sering diberitakan sejumlah media. Namun, Pemerintah Cina tak pernah merespons insiden ini. Kelompok Muslim Uighur dan Aktivis HAM mengatakan, kerusuhan di Xinjiang ini dipicu karena pembatasan terlalu ketat terhadap ibadah umat Islam di sana.
Mengutip ibtimes, jumlah korban tewas serangan polisi Xinjiang dapat mencapai lebih dari 28 orang termasuk pejalan kaki. "Ketika salah seorang polisi di pos pemeriksaan berlari keluar, tersangka memundurkan mobil lalu menabrak dan mematahkan kakinya. Dua tersangka lainnya kemudian bergegas keluar dari mobil menggunakan pisau untuk menyerang dan membunuh dua polisi yang akan menyelamatkan rekannya," ujar Turghun Memet, polisi di Distrik Heyhag.
Serangan ini sebagai protes pembatasan aktivitas agama Muslim Uighur di Cina yang berlangsung sejak lama. Pembatasan paling baru adalah larangan bagi umat Muslim untuk berpuasa Ramadhan.
Pemerintah Cina mmeberikan pemberitahuan resmi bahwa anggota partai, PNS, siswa, dan guru dilarang berpuasa. Larangan ini berlaku sejak tahun lalu.
Mereka juga memerintahkan restoran halal tetap buka pada siang hari. Juru Bicara Muslim Uighur, Dilxat Raxit, mengatakan perintah ini merupakan bentuk politisasi pemerintah.
Dilansir dari TheGuardian, Presiden Xi Jinping menilai agama yang ada di Cina tidak boleh dipengaruhi asing. Seluruh warga dan agama mana pun harus berjanji hanya setia untuk negara.
Cina dengan mayoritas ateis berusaha mengendalikan berbagai agama dan penyebarannya. "Kita harus mengelola urusan agama sesuai dengan hukum dan sesuai dengan keinginan kami," ujar Xi Jinping.
Xi beralasan, pasukan asing menggunakan agama untuk menyusup pada masayarakat Cina. Sehingga dapat menguasai warga dan menjatuhkan partai yang berkuasa saat ini.
Seorang sarjana agama Cina di Universitas Purdue, Yang Fenggang, mengatakan aturan pemerintah ini dinilai bias. Pasukan asing tak jelas mengacu pada individu asing, kelompok nonpemerintah asing, tradisi budaya asing, atau pemerintah asing.
Kebijakan ini sulit diterapkan pada era globalisasi ini saat Cina ingin mempromosikan budaya Cina di luar negeri. "Bagaimana anda bisa mempengaruhi asing, tetapi tidak dipengaruhi oleh asing?"