Kamis 25 Jun 2015 20:36 WIB

1.000 Orang Tewas Akibat Gelombang Panas Pakistan

Rep: melisa riska putri/ Red: Ani Nursalikah
Warga Pakistan beristirahat di masjid untuk menghindari gelombang panas yang mencapai 44 derajat Celsius, Senin (22/6).
Foto: cnn
Warga Pakistan beristirahat di masjid untuk menghindari gelombang panas yang mencapai 44 derajat Celsius, Senin (22/6).

REPUBLIKA.CO.ID, KARACHI -- Gelombang panas terburuk dalam 35 tahun yang melanda kota di Pakistan selatan, Karachi telah menewaskan lebih dari 1.000 orang, Kamis (25//6). Rumah sakit umum bahkan telah kehabisan kamar mayat dan sedang berjuang mengatasi hal tersebut.

Seorang pejabat senior dari Organisasi Amal Endhi Foundation, Anwar Kazmi mengatakan, banyaknya jasad yang berada di kamar mayat telah memaksa tim medis untuk menyimpan jasad dalam kantong mayat dan meletakkannya di lantai. AC di kamar mayat pun telah berhenti bekerja.

"Jumlah korban tewas akibat gelombang panas telah mencapai lebih dari 1.000 orang. Kematian ini terutama terjadi di rumah sakit yang dikelola pemerintah dan beberapa rumah sakit swasta besar," kata Kazmi.

Suhu panas mencapai 44 derajat Celsius pada akhir pekan lalu meski kini suhu telah menurun hingga 38 derajat Celsius. Departemen Meteorologi mengatakan, akhir pekan adalah kondisi terpanas sejak 1981.

Gelombang panas di kota berpenduduk 20 juta orang itu terjadi bertepatan dengan padamnya listrik dan sulitnya air bersih. Ditambah puasa di bulan Ramadhan yang membuat kondisi kian buruk.

Beberapa toko menolak menjual es atau air pada siang hari untuk menjalankan hukum agama sebab mereka terancam terkena denda bila melanggar. Makan atau minum di depan umum dari fajar hingga senja dianggap ilegal.

Ia mengatakan, banyak rumah sakit yang mendesak memohon adanya seprai, air dingin dan kebutuhan dasar lainnya, Rabu (24/6) malam.

Pemerintah mengaku telah melakukan apapun yang bisa terkecuali menyalahkan K-listrik untuk kematian yang terjadi. K-listrik adalah perusahaan listrik swasta yang memasok listrik ke Karachi.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement