Senin 29 Jun 2015 12:11 WIB

Larang Muslim Uighur Puasa, RI Diminta Bereaksi

Umat Muslim berdoa sebelum membatalkan puasanya Ramadhan ini di Masjid Niujie, Beijing, Cina.
Foto: Reuters
Umat Muslim berdoa sebelum membatalkan puasanya Ramadhan ini di Masjid Niujie, Beijing, Cina.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR RI Rachel Maryam meminta pemerintah Republik Indonesia untuk bersikap dengan mengajukan ketidaksetujuannya atas kebijakan Republik Rakyat Cina yang melarang puasa Muslim Uighur.

"Pemerintah Indonesia harus berani menyuarakan sikapnya agar dunia termasuk Cina mengetahui bahwa Indonesia tidak sepakat dengan cara-cara yang dapat membatasi dan melarang seseorang untuk menjalankan kehidupan beragama dan beribadan sesuai agama dan kepercayaannya," kata Rachel dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (29/6).

Rachel mengingatkan dengan bersikap demikian selaras dengan amanat konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan Indonesia berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia. Politisi Partai Gerindra itu juga menyatakan, larangan puasa terhadap Muslim Uighur oleh Cina itu sangat disayangkan dan tidak dapat dibenarkan.

"Bagaimanapun menjalankan ibadah keagamaan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan adalah hak dasar seluruh manusia yang tidak boleh dilarang oleh siapapun," ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas meminta agar Pemerintah Cina memperkenankan Muslim Uighur menjalankan kewajibannya berpuasa selama Ramadhan. "Tindakan Pemerintah Cina yang melarang Muslim Uighur untuk berpuasa jelas melanggar hak asasi manusia. Untuk itu, kami mengimbau Pemerintah Cina agar memperkenankan Umat Islam menjalankan ibadahnya," ujar Anwar.

Beberapa pemerintah bagian di Distrik Xinjiang mengeluarkan larangan terhadap anggota partai Islam, PNS, pelajar dan guru untuk berpuasa selama bulan suci Ramadhan. Muslim Uighur merupakan penduduk minoritas berbahasa rumpun Turkistan yang menempati wilayah Xinjiang barat laut. Diperkirakan mereka berjumlah delapan juta jiwa.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement