REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Tunisia memiliki alasan untuk takut terhadap serangan teror. Apalagi banyak lelaki yang bergabung dengan ISIS setelah gejolak Arab Spring 2011.
Mereka yang bergabung tersebut banyak yang kembali, melakukan pertempuran keras untuk menyebarkan ideologi radikal di daerah asal mereka. Tunisia juga merupakan negara yang rentan menjadi target. Perekonomian Tunisia tergantung dari kunjungan wisatawan Eropa di pantai Mediterania yang hangat.
Serangan di Sousse bukan kali pertamanya. Sebelumnya, pembantaian mengejutkan terjadi di museum nasional dan menewaskan 22 turis. Sekarang setelah serangan tunggal di sebuah pantai di Sousse, pemerintah tampaknya siap untuk meluncurkan tanggapan yang komprehensif.
Presiden Parlemen, Mohamed Ennaceur mengatakan, pihaknya akan meluluskan hukum antiterorisme sebelum Hari Republik pada 25 Juli.
"Kami mengambil tindakan yang diperlukan di semua bidang untuk memerangi terorisme," katanya saat mengunjungi korban di rumah sakit, Senin (29/6).
Hukum antiterorisme baru akan meningkatkan kekuasaan polisi dan memberikan hukuman yang lebih berat. Hal ini juga akan membuat komisi untuk merancang strategi dalam mengatasi akar terorisme dengan mengatasi penyebab ekonomi dan sosial teror. Juga menciptakan pusat deradikalisasi untuk mengubah pikiran melalui persuasi, bukan penjara.
Hukum ini sebenarnya telah diusulkan pertama kali pada Januari 2014. Namun, pemerintah koalisi berusaha menyeimbangkan reformasi dan represi.