REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Dua tahun setelah kejatuhan Presiden Muhammad Mursi, Mesir mundur ke kondisi yang sepenuhnya represif. Amnesty International mengatakan banyak aktivis dipenjara karena mencoba menyampaikan protes, Selasa (30/6).
Lembaga pengawas hak-hak asasi yang berbasis di London, Inggris itu menyebut pemerintah Mesir yang dipimpin Presiden Abdel Fattah al-Sisi menerapkan kebijakan menutup semua peluang yang mengancam kelangsungan rezim mereka.
"Unjuk rasa besar-besaran telah berganti menjadi pemenjaraan besar-besaran," Amnesty melaporkan hal itu dalam rangka peringatan dua tahun kudeta Presiden Mursi.
Pembubaran demonstrasi oleh pemerintah telah membuat 41 ribu orang ditangkap, menjadi terdakwa atau diindikasikan dengan tindakan kriminal, atau dihukum lewat pengadilan yang tidak adil.
"Hari ini, aktivis muda dikurung di penjara, mengirim indikasi Mesir telah mengalami kemunduran ke tingkat represi sepenuhnya," ujar aktivis Amnesty, Hassiba Hadja Sahraoui.
Amnesty mengatakan gelombang penangkapan baru-baru ini pada pertengahan 2015 mengakibatkan 160 orang ditahan dengan kondisi penangkapan paksa. Sahraoui mengatakan penangkapan itu diawali dengan penangkapan Mursi dan para pendukungnya, kemudian diperluas ke semua spektrum politik di Mesir.
Amnesty juga mengkritik Sisi yang didukung sekutu Barat dan Eropa di mana tidak ada indikasi penghentian kekerasan di level masyarakat.
"Mesir memenjarakan aktivis perdamaian ketika komunitas internasional memalingkan pandang ke arah lain. Negara-negara memilih untuk diam, pemimpinnya diam dan berdiam dari Badan Hak-hak Asasi Manusia PBB," kata Amnesty.