Sabtu 11 Jul 2015 21:43 WIB

IMF Turunkan Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi Dunia Namun tidak Khawatir dengan China

Red:
Gedung Dana Moneter Internasional (IMF) Washington DC
Foto: EPA/MATTHEW CAVANAUGH
Gedung Dana Moneter Internasional (IMF) Washington DC

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan prakiraan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini, namun tidak terlalu mengkhawatirkan jatuhnya saham di China dan krisis utang Yunani.

IMF sekarang memperkirakan pertumbuhan ekonomi global di tahun 2015 sekitar 3,3 persen, turun dari perkiraan sebelumnya yaitu 3,5 persen.

Namun organisasi ini memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan naik lagi menjadi 3,8 persen di tahun 2016.

Berbicara untuk terakhir kalinya sebelum pensiun dari jabatan ini, Ekonom Kepala IMF Olivier Blanchard mengatakan apa yang terjadi di Amerika Serikat merupakan 50 persen dari menurunnya prakiraan mereka.

Dr Blanchard mengatakan lemahnya data ekonomi kuartal pertama di Amerika Serikat menimbulkan pertanyaan mengenai pemulihan ekonomi di negara tersebut, namun dalam waktu bersamaan ada masalah lain di antaranya cuaca.

"Kesimpulannya adalah bahwa ini hanya sebuah 'pengecualian" dan sisa enam bulan paruh kedua tahun 2015 tidak akan terpengaruh," kata Blanchard baru-baru ini.

"Saya kira fundamental ekonomi Amerika Serikat sangat kuat, dan pemulihan ekonomi sudah berada di rel yang benar."

IMF mengatakan tidak akan ada dampak panjang buruk dari kekhawatiran para investor mengenai China dan Yunani. Indeks saham Shanghai sudah turun 30 persen dalam sebulan terakhir, dan ini juga berakibat pada turunnya harga komoditi termasuk biji besi.

Namun Dr Blanchard mengatakan turunnya harga saham itu bukan hal yang mengejutkan, dan dampaknya akan terbatas. "Yang terjadi adalah apa yang kita ketahui sebagai 'stock market bubble'. Harga saham di sana sudah naik 150 persen dalam waktu kurang dari satu tahun. Padahal tidak ada bukti ini disebabkan karena naiknya dividen atau fundamental lain."

"Apakah ini cukup mengkhawatirkan? Menurut kami tidak. Kami memperkirakan karena harga saham itu sudah naik begitu cepat, kebanyakan investor belum menggunakan keuntungan tersebut, jadi sekarang dalam perjalanan ke bawah, mereka tidak harus memperbaiki sesuatu yang tidak mereka lakukan sebelumnya."

"Investor di China harus terbiasa dengan naik turunnya pasar saham. Ini bukan yang pertama, dan pasti bukan yang terakhir. Jadi saya kira ini adalah tontonan sampingan. Ini tidak menggambarkan mengenai fundamental ekonomi China." tambah Dr Blanchard.

Masa depan Yunani di Uni Eropa masih belum jelas. namun Dr Blanchard mengatakan reaksi pasar yang tidak terlalu 'drastis' cukup melegakan.

"Apa yang terjadi dalam 10 hari ini membuat kita yakin dan membuat kita berpikir bila keadaan memburuk di Yunani - sesuatu yang tentu tidak kita inginkan - namun bila terjadi, dunia akan bisa selamat," katanya.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement