REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Pejabat Australia mewaspadai unjuk rasa anti-Islam dan kaum nasionalis. Pemerintah ingin memastikan sentimen itu tidak berkembang menjadi kerusuhan ras yang serupa terjadi pada tahun 2005.
Ratusan orang menghadiri demonstrasi Reclaim Australia yang berlangsung di seluruh negeri selama akhir pekan. Aparat polisi berusaha memisahkan demonstran anti-Islam dan anti-rasisme dalam bentrokan yang meletus di Melbourne tersebut.
Presiden Badan Anti-Diskriminasi New South Wales Stepan Kerkyasharian mengatakan perpecahan di masyarakat tersebut memicu ketidakamanan. Kedua golongan yang terpisah menimbulkan situasi yang dilematis.
Di satu sisi, ujarnya, komunitas Muslim merasa terkepung oleh peristiwa internasional dan terorisme global yang menyalahgunakan agama untuk mengejar agenda geopolitik. Di sisi lain, masyarakat Australia yang lebih luas merasa tidak aman karena apa yang mereka dengar di berita.
"Mereka menyangka, seseorang yang tinggal di sebelah rumah mereka atau seseorang di pusat perbelanjaan, mungkin tiba-tiba meledakkan mereka. Jadi pada dasarnya seluruh komunitas saling hidup dalam ketakutan," katanya dilansir Al Arabiya, Senin (20/7).
Kerkyasharian mengatakan, kerusuhan yang terjadi di daerah pinggiran Cronulla, Sydney selatan, pada 2005 silam tercetus oleh rasisme. Sementara, situasi saat ini terutama disebabkan oleh peristiwa internasional dan terorisme global.
Penyelenggara aksi Reclaim Australia menolak disebut rasis dan menyebut demonstrasi itu sebagai respons publik untuk kekejaman dari kelompok Islam radikal baik di dalam maupun di luar Australia.
Mereka menyanggah adanya pemaparan bukti oleh komisi yang menangani diskriminasi ras di Australia mengenai adanya unsur buruk dalam demonstrasi itu, termasuk kelompok supremasi ras dan neo-Nazi.
"Sangat penting bagi kami untuk menyadari bahwa pengunjuk rasa anti-Muslim mewakili pinggiran minoritas dalam masyarakat dan kami sangat menolak rasisme dan kefanatikan agama," ujar sang komisioner, Tim Soutphommasane.