REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Parlemen Tunisia menyetujui Undang-Undang (UU) baru anti-teror, Jumat (24/7). Undang-undang tersebut disetujui setelah debat selama tiga hari oleh 174 anggota parlemen. Sepuluh suara abstain dan tidak ada suara menolak.
Undang-undang baru tersebut disahkan setelah seorang pria bersenjata membantai 38 wisatawan di pantai Tunisia dalam serangan pada 26 Juni. Pada Maret, serangan juga terjadi terhadap museum Bardo di ibu kota. UU baru tersebut didukung oleh partai-partai sekuler dan Islam. Namun, UU ini mendapat kritik dari masyarakat sipil dan LSM. Pengkritik mengutuk fakta UU yang membawa kembali hukuman mati untuk pelanggaran tertentu. Padahal, sudah seperempat abad yang lalu telah ada moratorium terkait eksekusi mati.
Mereka juga mempertanyakan kekuatan UU tersebut karena memungkinkan otoritas untuk menahan para tersangka selama 15 hari tanpa akses ke pengacara atau belum melewati proses pengadilan. UU tersebut juga akan membuat lebih mudah bagi para penyidik untuk melakukan penyadapan melalui telepon dan membentuk opini publik agar para pelaku terorisme bisa dipenjarakan. Terkait adanya UU tersebut, kelompok advokasi menggambarkannya sebagai kekejaman dan mengatakan bahwa definisi hukum kejahatan teroris terlalu samar dan gagal untuk melindungi hak-hak terdakwa.