REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Buldoser Israel pada Rabu (29/7), mulai menghancurkan sebuah komplek perumahan di wilayah permukiman di Tepi Barat. Penghancuran ini bersamaan dengan pengumuman kantor berita Perdana Menteri Benyamin Netanyahu untuk membangun langsung sekitar 300 unit baru di lokasi lain di wilayah yang sama.
Bahkan, setelahnya direncanakan akan dibangun 500 unit lanjutan baru di permukiman Yerusalem Timur tersebut. Langkah ini kemungkinan akan mengundang teguran internasional, di tengah kebuntuan penyelesaian masalah permukiman di Beit El, sebelah utara Yerusalem di Tepi Barat.
Kebuntuan meningkat tajam pada Rabu, setelah Mahkamah Agung Israel menolak petisi membatalkan putusan awal yang menyatakan akan menghancurkan komplek di Beit El. Putusan memerintahkan penghancuran selesai paling lambat pada Kamis (30/7). Komplek dianggap ilegal karena berada di bawah pembangunan yang bukan otoritas Israel.
Ketegangan juga meningkat di wilayah tersebut sebab komunitas pemukim manandai saat itu sebagai satu dekade 'pelepasan' warga Israel dari Jalur Gaza. Saat itu pada 2005, Israel menarik semua warga sipil dan tentaranya dari permukiman di sana dan juga dua permukiman di Tepi Barat.
Sementara itu, unit baru yang diumumkan kantor Netanyahu akan dibangun di dua tempat yakni Beit El dan tempat lain termasuk di wilayah yang para pemimpin Israel menyatakan sebagai lingkungan tak terpisahkan dari Yerusalem. Mereka mengatakan, lingkungan ini akan menjadi bagian dari Israel di bawah perjanjian damai di masa depan. Ini ditolak Palestina, dengan mengatakan konstruksi ilegal.