REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Pemerintah Irak tidak hanya menghadapi kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Mereka juga tengah dihadapkan dengan persoalan internal, seperti kasus korupsi, minimnya pasokan listrik, dan sejumlah persoalan sosial lain.
Pada Selasa (11/8), parlemen Irak secara bulan menyetujui paket reformasi yang diusulkan oleh Perdana Menteri Haidar al-Abadi.
Abadi mempunyai cara tersendiri untuk mengatasi korupsi dan menghemat anggaran. Termasuk, memangkas jabatan posisi senior pemerintahan, mengakhiri pembagian kuota posisi pemerindah berdasarkan kuota serta membuat kembali kasus investigasi korupsi.
Di bawah temparatur panas yang mencapai 50 derajat Celcius, para pengunjuk rasa telah turun ke jalan mengecam buruknya pelayanan sosial pemerintah selama sepekan terakhir. Tak hanya di Baghdad, ribuan orang di kota Syiah lain juga mengecam pemerintahan.
Pada paket terpisah, parlemen juga menyetujui pemecatan menteri keuangan dan kelistriak, mengurangi jabatan kementerian, memangkas pejabat keamanan dan reformasi sistem Yudisial.
Bagi Barat, Abadi terhitung sebagai Syiah moderat. Kendati sejumlah kalangan menilai, tindakan diskriminatif terhadap minoritas Suni masih berlangsung. Abadi, Jumat pekan lalu, mendapat dukungan dari ulama Syiah Ayatollah Ali al-Sistani.
Paket reformasi yang diajukan pemerintah boleh dibilang menjadi pertaruhan buat al-Abadi. Ia tentu tak ingin dijatuhkan di tengah jalan. Bukan oleh ISIS, namun rakyatnya sendiri.