REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Kesepakatan nuklir Iran memicu spekulasi baru mengenai peluang bisnis di belakangnya. Industri besar, seperti Volkswagen, Royal Dutch Shell, dan Siemens dikabarkan telah melihat Iran sebagai pasar bisnis baru.
Tak hanya itu, perusahaan cepat saji AS McDonald diyakini termasuk yang menyasar 80 juta peluang konsumen baru di Iran. Seperti dikutip Al-Arabiya, McDonald sebelumnya telah mengunggah pengajuan aplikasi waralaba di Iran dalam situsnya.
Dalam aplikasi itu, McDonald menyatakan, kemungkinan mereka membuka restoran di Iran meski tidak disebutkan secara pasti kapan.
Namun, pejabat senior perdagangan Teheran bulan lalu mengatakan, belum ada pembicaraan dengan perusahaan AS itu. McDonald belum bisa dimintai komentarnya.
Sejak revolusi 1979 yang menggulingkan rezim pro-Barat, McDonald menutup outletnya di negara Persia itu. Gerakan anti-AS pun digulirkan sehingga sulit bagi perusahaan Paman Sam mendirikan usahanya di sana.
Namun, menurut Analis di Washington's Middle East Institute, Alex Vatankan, umumnya kalangan generasi pemuda saat ini telah banyak bersentuhan dengan produk AS. Seperti telepon pintar atau minuman ringan Coca Cola. Produk itu di antaranya didapat dari Dubai.
Pemilik Mach Donald, imitasi McDonald, mengatakan kepada New York Times, nama-nama berbau Barat sengaja diubah untuk mencegah kemarahan kelompok garis keras.