REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Perdana Menteri Libya yang diakui secara internasional, Abdullah al-Thinni, menyatakan pengunduran dirinya dalam sebuah wawancara televisi. Ia mundur dari posisinya setelah dihadapkan pada sejumlah pertanyaan-pertanyaan dari rakyat yang marah dan mengkritik kabinetnya.
"Saya resmi mengundurkan diri dan saya akan mengajukan pengunduran diri saya ke DPR pada Ahad (16/8)," kata Thinni kepada saluran televisi Libya, dalam sebuah wawancara yang disiarkan Selasa (11/8).
Selama wawancara televisi, Thinni berubah menjadi marah saat presenter menghujamnya dengan sejumlah pertanyaan pedas. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menurut presenter merupakan kumpulan dari kiriman warga. Pertanyaan umumnya mengkritik Thinni karena kurangnya keamanan dan bantuan bagi orang terlantar akibat kekacauan di Libya.
Saat presenter bertanya apa yang akan dilakukan Thinni jika rakyat melakukan aksi protes terhadapnya. Thinni seketika marah dan langsung menyatakan pengunduran dirinya.
"Orang-orang tak perlu memprotes saya karena saya resmi mengundurkan diri dari posisi saya," ungkap Thinni.
"Mereka bisa membawa perdana menteri baru yang memiliki kekuatan sihir untuk memecahkan semua masalah," sindir Thinni.
Thinni telah memimpin pemerintahan Libya sejak Maret 2014. Pada April 2014, ia sempat mengatakan akan mengundurkan diri karena keluarganya diserang. Tapi ia kemudian berubah pikiran dan tetap menjabat.
Seperti diketahui pemerintahan yang dipimpin Thinni telah meninggalkan Tripoli tahun lalu, setelah ibu kota tersebut direbut kelompok saingan. Kabinet Thinni kemudian bekerja dari hotel di sebuah kota terpencil, Badya. Namun selama pemerintahannya dari sana, warga mengeluhkan kekacauan, kurangnya bantuan obat dan bahan bakar serta rumah sakit.
Sementara bangunan negara dan kantor kementerian strategis di Tripoli semuanya berada di bawah kendali pemerintah saingan, yang belum diakui secara internasional. Hal ini mengundang kekecewaan warga akan kondisi keamanan Libya yang semakin memburuk.