REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ani Nursalikah
Tulisan ini terinspirasi oleh tulisan aktivis sossial Afrika Mawuna Remarque Koutonin. Tulisan yang dimuat di The Guardian 13 Maret lalu itu cukup membuka mata dan membuat saya berpikir.
Koutonin menyoroti soal penggunaan istilah ekspatriat. Betapa menurutnya dalam leksikon perpindahan manusia, ekspatriat atau ekspat merupakan kata yang menunjukkan hirarki.
Apa yang ada dalam benak anda begitu mendengar istilah ekspat? Apakah bule, berkulit putih, memiliki keterampilan bekerja yang tinggi dan finansial yang lebih dari cukup alias kaya?
Anda tidak salah. Deskripsi itu pula yang ada dalam pikiran saya, dan teman-teman saya begitu saya ajukan pertanyaan di atas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekspatriat berarti orang yang melepaskan kewarganegaraannya, warga negara asing yang menetap di sebuah negara dan tenaga kerja asing.
Menurut Wikipedia, ekspatriat adalah seseorang yang tinggal sementara atau menetap di suatu negara yang bukan asalnya. Ekspat berasal dari bahasa Latin. Eks artinya keluar dan patria artinya negara, tanah asal orang tua. Sedangkan imigran artinya orang yang datang dari negara lain dan tinggal menetap di suatu negara.
Berdasarkan pengertian tersebut, ekspatriat tidaklah mengenal ras. Tetapi mengapa kita cenderung mendefinisikan ekspatriat sebagai seseorang dengan ras kaukasoid dan berkulit putih?
Padahal, bangsa Arab, Afrika dan Asia yang bekerja di negara lain juga adalah ekspatriat. Di media Barat, bangsa Arab, Afrika dan Asia disebut imigran atau migran. Coba tengok pemberitaan BBC pada 23 Juli 2015 ini, "Lebih dari 40 imigran Afrika tenggelam ketika perahu mereka karam di lepas pantai Libya. Seluruh imigran berasal dari Sub-Sahara Afrika."
Namun, Arab News yang berasal dari Arab Saudi memberlakukan istilah ekspat bukan hanya untuk mereka yang berasal dari Barat. Dalam berita tertanggal 15 Juli 2015 dimuat artikel mengenai 644 warga asing yang memeluk Islam, “Sebanyak 644 ekspatriat memeluk Islam sejak awal Ramadhan di Pusat Dakwah Islam di Batha. Mereka berasal dari Filipina, Sri Lanka, India, Vietnam, Nepal dan Kenya.”
Kebanyakan dari kita merujuk warga asing yang bekerja sebagai buruh atau asisten rumah tangga di negeri orang dengan buruh migran. Padahal merujuk definisi di KBBI, mereka juga termasuk ekspatriat.
Istilah ekspatriat mengalami pergeseran makna. Ekspat mengacu pada kelas sosial, asal negara dan status ekonomi. Semua warga asing yang berasal dari negara Barat disebut ekspat. Di Indonesia juga begitu kondisinya.
Berdasarkan situs linguisticpulse.com, terdapat 20 kata sifat populer terkait ekspat dan imigran. Pada ekspat, kata-kata tersebut, termasuk Barat, mahal, orang asing, muda, finansial dan populer. Sedangkan pada imigran, kata-kata tersebut, termasuk keterampilan rendah, ilegal, non-kulit putih, warga Bangladesh, kelas pekerja, naturalisasi.
Dari kelompok kata-kata tersebut jelas terlihat imigran cenderung digunakan untuk orang non-kulit putih. Sedangkan imigran digunakan pada orang-orang dengan kulit berwarna.
Para bule ekspatriat di Indonesia cenderung memiliki komunitas sendiri, pekerja dengan bayaran tinggi, bergaul hanya dengan orang-orang tertentu dalam komunitasnya. Setidaknya itulah yang dilihat orang kebanyakan.
Di Indonesia, imigran identik dengan orangArab atau Asia yang masuk wilayah Indonesia secara ilegal. Atau yang terbaru, etnis Rohingya dari Myanmar.
Namun, pendapat Koutonin bukannya tanpa tentangan. Sejumlah orang mempertanyakannya. Warga Eropa yang berkulit putih juga kerap dilabeli imigran, terutama dalam konteks imigrasi ke Amerika Serikat.
Ketika seseorang pindah dari negara kurang sejahtera, seperti Bangladesh, Haiti dan Meksiko ke negara yang cukup makmur, mereka cenderung dilabeli sebagai imigran, terkadang sebutannya imigran berketerampilan rendah atau tidak memiliki keterampilan.
Sedangkan ketika seseorang pindah dari negara yang kaya, seperti AS, Inggris dan Australia atau sebutlah negara Barat, mereka dilabeli ekspat, dan karenanya kelas sosial mereka dianggap lebih tinggi.