REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dewan Keamanan PBB akan bertemu pada Jumat (4/9) untuk membahas pertempuran yang sedang berlangsung di Sudan Selatan meskipun kesepakatan damai telah tercapai untuk mengangkat harapan mengakhiri perang selama 20 bulan.
Sebanyak 15 anggota dewan akan melakukan pertemuan tertutup pukul 14.00 GMT atas permintaan Amerika Serikat (AS) yang menyerukan embargo senjata dan sanksi untuk dikenakan kepada mereka yang menghalangi kesepakatan tersebut.
Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani oleh Presiden Salva Kiir dan pemimpin pemberontak Riek Machar, gencatan senjata mulai berlaku pada Sabtu, tetapi pertempuran terus terjadi di negara bagian Upper Nile.
Anggota dewan akan mendengar laporan tentang situasi di lapangan dari utusan PBB Ellen Margrethe Loej yang akan berbicara melalui sambungan video dari Juba.
Sudan Selatan yang merupakan negara termuda di dunia tersebut, terjerumus ke dalam pertumpahan berdarah pada Desember 2013 saat Kiir menuduh wakilnya Machar merencanakan kudeta.
Kekerasan telah menyebabkan puluhan ribu orang tewas dan membuat negara miskin itu terpecah di sepanjang garis etnis.
Lebih dari dua juta orang telah meninggalkan rumah mereka dalam perang yang ditandai dengan pemerkosaan oleh geng dan penggunaan tentara anak-anak.
Sekitar 200 ribu warga sipil yang ketakutan berlindung di dalam markas PBB. AS telah menyampaikan rancangan resolusi PBB untuk memberlakukan embargo senjata dan sanksi ditargetkan pada individu yang menghalangi ketentuan-ketentuan perjanjian perdamaian tersebut.
Resolusi itu nantinya akan diputuskan dengan pemungutan suara oleh anggota dewan.