REPUBLIKA.CO.ID, ZAGREB -- Kroasia mengaku tidak bisa lagi menawarkan perlindungan kepada pegungsi yang akan masuk ke negaranya. Kroasia juga menolak menjadi titik hot spot pengungsi.
Para migran yang sebagian besar dari negara-negara miskin atau dilanda perang di Timur Tengah, Afrika, dan Asia menyerbu Kroasia sejak Hungaria memblokir pintu perbatasannya dengan pagar kawat berduri dan polisi anti huru hara, Selasa (15/9).
"Kita tidak bisa mendaftar dan mengakomodasi orang-orang ini lagi," kata Perdana Menteri Kroasia, Zoran Milanovic konferensi pers di ibu Kota Zagreb, Jumat (18/9).
Dia menambahkan, pengungsi dan migran akan mendapatkan makanan, air, bantuan medis, dan mereka dapat melanjutkan perjalanan. ‘’Tetapi Uni Eropa harus tahu bahwa Kroasia tidak akan menjadi hot spot migran,’’ ujarnya.
Kroasia menjadi jalur alternatif dan ribuan pengungsi mencoba memasuki Kroasia. Bahkan, lebih dari 11 ribu migran telah memasuki Kroasia dari Serbia sejak Rabu (16/9) pagi. Pada Kamis (17/9), Kroasia menutup tujuh perlintasan perbatasan negara itu dengan Serbia.
"Lalu lintas penyeberangan perbatasan yang dilarang yaitu di Tovarnik, Ilok, Ilok 2, Principovac, Principovac 2, Batina, dan Erdut," kata Kementerian Dalam Negeri Kroasia, Kamis (17/9) seperti dikutip dari laman Al Arabiya.
Menteri Dalam Negeri Kroasia, Ranko Ostojic mengatakan, krisis pengungsi yang terus terjadi itu adalah masalah waktu sebelum perbatasan ditutup sepenuhnya.
Seorang pengungsi perempuan asal Suriah bernama Hikmat (32 tahun) mengaku dirinya sangat lelah. Dengan tanpa mengenakan alas kaki dari Damaskus, ia melakukan migrasi melalui darat, laut, dan melalui Balkan ke perbatasan Eropa.
Dia mengaku telah bepergian selama dua bulan dengan anaknya. ‘’Lihatlah aku hanya ingin pergi kemanapun di mana kita akan aman,’’ ujarnya.