REPUBLIKA.CO.ID, CALIFORNIA -- Kendati Konstitusi AS melarang diskriminasi agama bagi warga yang ingin memburu jabatan publik, namun pada kenyataan di lapangan tidak demikian. Identitas agama dan politik calon presiden kerap menjadi persoalan sensitif yang dijadikan komoditas politik.
Pada 2007, ketika kandidat Partai Republik Mitt Romney berkampanye, ia menghadapi ketakutan dari kalangan Kristen konservatif lantaran keyakinan Mormon-nya. Pada 1960, John F. Kennedy yang menjadi Presiden Katolik pertama menekankan pemisahan gereja dan negara. Presiden AS saat ini, Barack Obama juga pernah disebut Muslim dan memiliki keturunan Arab saat kampanye.
Sentimen agama juga muncul pada pemilu AS kali ini. Komentar itu datang dari bakal calon presiden asal Partai Republik Ben Carson yang menyebut Muslim tidak berhak menjadi presiden AS. Pernyataan Carson sontak mendapat protes warga Muslim. Seorang mahasiswa Muslim, Aicha Fokar (20 tahun) menilai komentar Carson mempertahankan prasangka buruk yang seharusnya tidak ada dalam budaya Amerika.
"Ini mengecilkan hati pemuda Muslim untuk memperjuangkan hak-hak mereka atau bangga dengan iman mereka. Para kandidat mengucapkan statemen itu untuk meraup suara banyak pemilih. Mereka tidak paham kita juga pemilih," kata mahasiswa Lubbock, Texas itu, dilansir Reuters, Selasa (22/9).
Dari Texas Tech University, mahasiswi Saba Nafees (23) juga melihat beberapa ironi dalam komentar Carson. Sementara, di kompleks Anaheim yang dikenal sebagai "Little Saudi", seorang warga Abdallah Soueidan (57 tahun) menilai pernyataan Carson hanya akan memperkeruh suasana.
Di Dearborn, sebuah lingkungan pinggiran di Detroit yang dihuni sebagian besar penduduk Muslim AS, seorang warga lain menyampaikan suara senada. Hanya saja ia lebih memilih mengkritik Donald Trump yang juga memiliki prasangka buruk terhadap Muslim.
Marsekal Shameri menilai Trump harus berbuat lebih banyak untuk menghapus kesalahpahaman tentang Islam. "Sebagai kandidat, sebagai pengusaha, sebagai pria yang mencalonkan diri sebagai presiden, ia seharusnya jauh, jauh lebih tajam dan jernih dalam merespon segala sesuatu. Dia tidak," kata Shameri, yang berasal dari Irak.