Selasa 22 Sep 2015 12:44 WIB

Muslim Amerika Hadapi Gelombang Baru Islamofobia

Rep: C38/ Red: Ani Nursalikah
muslim amerika
Foto: huffingtonpost.com
muslim amerika

REPUBLIKA.CO.ID, CALIFORNIA --  Muslim Amerika sedang menghadapi pertumbuhan gelombang baru Islamofobia yang didorong dua calon presiden paling populer dari Partai Republik, Donald Trump dan Ben Carson.

Di Islamic Institute of Orange County, yang menampung sebuah masjid dan sekolah di Anaheim, California selatan, ketegangan sudah terjadi sejak sekelompok orang kulit putih meneriaki beberapa ibu dan anak-anak pada peringatan 11 September tahun ini. Sekelompok kulit putih itu menyebut Muslim bukan bagian dari Amerika.

Dilansir dari Thomson Reuters Foundation, Selasa (22/9), banyak Muslim di negara berpopulasi 2,8 juta Muslim itu menilai ketegangan tersebut dapat menjadi lebih buruk selama pemilihan presiden. Pasalnya, sekarang saja para calon presiden sudah menguatkan nada kemarahan dan kefanatikan.

"Ini cukup mengganggu, mengingat orang yang mencalonkan diri sebagai presiden bisa membuat klaim tersebut," kata Zuhair Shaath, seorang keturunan Palestina-Amerika, merujuk pernyataan Carson pada Ahad (20/9).

Carson saat itu menyatakan Muslim tidak layak menjadi presiden Amerika Serikat.

Dalam kampanye Senin (21/9), Carson membela komentarnya. Carson mengatakan dirinya tidak menyuruh seorang Muslim harus dilarang mencalonkan diri sebagai presiden.

api, ia tidak menganjurkan Muslim menjadi pemimpin dan tidak akan mendukungnya. Pernyataan rasis semacam itu juga diucapkan Trump dan pendukungnya.

Beberapa Muslim mengaku takut pernyataan itu bisa memperkuat daya tarik Carson dan Trump, di mana komentar tumpul bercampur dengan pernyataan misogyny dan xenofobia. Insiden penahanan Ahmed Mohamed, siswa Muslim 14 tahun di Dallas pekan lalu turut memicu kekhawatiran.

Nihad Awad, direktur eksekutif Dewan Hubungan Amerika-Islam, menyerukan Carson untuk menarik diri dari pemilihan presiden Amerika karena dia tidak layak untuk memimpin. "Pandangannya bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat," tegas Nihad.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement