REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Cina dan Amerika Serikat melihat pengakuan dan penegakan penyitaan aset kotor yang dibawa ke luar negeri oleh tersangka korupsi. Hal itu diungkapkan Kementerian Luar Negeri Cina, Sabtu (26/9).
Kurangnya kerjasama Amerika Serikat dalam penumpasan korupsi pemerintah Cina dirasa mengganggu hubungan antara kedua ekonomi terbesar dunia itu.
Cina tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Amerika Serikat atau Kanada. Dua negara tersebut diketahui menjadi tujuan paling populer bagi tersangka kriminal ekonomi.
Negara-negara Barat telah menentang upaya penandatanganan peawaran ekstradisi dengan Cina. Sebagian karena mengkhawatirkan integritas sistem peradilan dan penanganan tahanan.
Kelompok-kelompok HAM mengatakn, pihak berwenang Cina menggunkan penyiksaan dah hukuman mati dalam kasus-kasus korupsi.
Kementerian tersebut melalui sebuah pernyataan mengatakan, Cina dan AS akan mendorong kemajuan kesepakatan kasus korupsi penting. Kerjasama akan fokus pada pertukaran bukti, mencari aset tersangka, deportasi tersangka korupsi dan imigran ilegal.
"Pada masalah memulihkan aset kotor, kedua belah pihak sepakat untuk bertukar pandangan mengenai pengakuan dan penegakan pelaksanaan penyitaan bersama," kata Kementerian Luar Negeri Cina.
AS telah mendeportasi dua tersangka korupsi kembali ke Cina pada pekan lalu. Salah satu dari mereka masuk ke dalam daftar 100 tersangka korupsi yang dicari oleh Cina pada April lalu.
Presiden Cina, Xi Jinping telah meluncurkan kampanye pemberantasan terhadap korupsi yang telah berakar. Kampanye dilakukan sejak ia mengambil alih kepemimpinan Partai Komunis pada akhir 2012 dan Presiden pada 2013. Puluhan pejabat senior telah diselidiki atau dipenjara.