REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Kali pertama dalam satu tahun terakhir, Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan Presiden Rusia Vladimir Putin bertatap muka dalam satu perundingan yang sama, Senin (28/9). Mereka membahas krisis di Suriah dan Ukraina.
Pertemuan mereka dilakukan di antara jadwal konferensi tingkat tinggi PBB di New York. Gedung Putih mengatakan AS akan fokus pada krisis Ukraina dan mendesak Moskow untuk menghidupkan rencana perdamaian.
Namun Kremlin tidak sepakat. Mereka mengatakan pembahasan tentang Ukraina hanya akan dilakukan jika waktu masih memungkinkan. Kremlin lebih memprioritaskan diskusi terkait krisis Suriah dan perang melawan ISIS.
Pertemuan diselenggarakan pada Senin malam. Rusia mulai menampakan inisiatifnya memimpin upaya internasional mengakhiri konflik di Suriah, melangkahi AS yang telah lebih dulu memimpin koalisi melawan ISIS.
Menteri Luar Negeri AS, John Kerry dan Menlu Rusia Sergei Lavrov sebelumnya telah membahas upaya koordinasi dalam melancarkan operasi di Suriah. "Saya rasa kami memiliki kepedulian tentang bagaimana langkah kedepan," kata Kerry.
Menurutnya, AS sedang merancang inisiatif politis baru untuk mengikutsertakan Rusia dalam operasi. Kerry juga mendiskusikan konflik di Suriah dengan Menlu Iran dalam pertemuan pada Sabtu di New York.
Telah dikonfirmasi militer Rusia bekerja sama dengan Iran, Irak dan Suriah dalam bidang inteligen dan keamanan untuk melawan ISIS. Hal ini membuktikan bahwa Rusia telah mulai berbaur di Timur Tengah.
Putin, dalam wawancara dengan CBS dalam acara '60 minutes', Senin (28/9) mengatakan ia bersungguh-sungguh untuk mengakhiri perang di Suriah. Bulan ini, Rusia mengirim banyak tank dan pesawat tempur untuk membuat rangka kerjasama menyelesaikan konflik.
"Kami akan menerima bentuk kerjasama kolektif apa pun dalam melawan teroris," kata Putin. Ia menyerukan adanya struktur terkoodinasi di wilayah dalam memerangi ISIS.
Putin dan Obama sama-sama menganggap satu sama lain bersebrangan. AS tidak sepakat dengan bantuan Rusia untuk Presiden Suriah Bashar al Assad. Rusia juga tidak sepakat dengan AS memberi bantuan pada pasukan pemberontak Suriah.
Putin menyebutnya ilegal dan tidak efektif. Menurutnya, pemerintah Damaskus seharusnya dilibatkan dalam upaya internasional memerangi ISIS. "Pasukan presiden Suriah adalah satu-satunya tentara konvensional yang terlegitimasi di sana," kata dia, dikutip BBC.
Putin juga mengejek-ejek rencana AS yang melatih 5.400 pemberontak Suriah untuk melawan ISIS. "Hanya 60 pejuang yang ternyata layak, dan hanya empat atau lima yang benar-benar memegang senjata," kata Putin.
Ia menambahkan, Rusia tidak berencana untuk menerjunkan pasukan tempur di Suriah. Pasukan Rusia juga tidak akan terlibat dengan operasi darat di teritorial atau pun negara sekitarnya.
Putin menjelaskan Rusia akan memerangi militan di sumbernya, yaitu di Suriah. "Sebanyak 2.000 militan di Suriah adalah mantan warga Uni Soviet," kata dia. Daripada menunggu mereka melakukan aksi di Uni Soviet, tambah Putin, lebih baik membantu Assad memeranginya di Suriah.
Bersamaan dengan kunjungan PBBnya, Putin mengirim lebih banyak senjata dan pasukan ke Suriah. Kremlin juga mengintensifkan upaya diplomatik sejak beberapa bulan lalu, melakukan dialog dengan Arab Saudi dan oposisi Suriah, sebagai upaya menyelesaikan konflik dari sisi politik.