REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Presiden Amerika Serikat Barack Obama bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dalam sidang umum tahunan di markas PBB di New York. Dalam pertemuan tersebut keduanya saling menyalahkan atas sejumlah kasus kekerasan, namun menunjukkan kompromi pada perang sipil Suriah.
Seperti dilansir Al Jazeera, Senin (28/9), berbicara pada sesi pembukaan Obama mengatakan aneksasi Moskow atas Krimea membuat negara tersebut semakin miskin dan terisolasi. Angka kemiskinan semakin meningkat di Krimea, dibanding saat Rusia meninggalkan negara itu.
"Bayangkan jika, sebaliknya, Rusia melakukan diplomasi yang benar," kata presiden AS tersebut.
Sementara itu, Putin menyalahkah invasi pimpinan AS di Irak dan dukungan Barat terhadap pemberontak di Libya memberi kontribusi untuk kekerasan, kemiskinan dan bencana sosial di seluruh wilayah tersebut. Hal itu menurut Putin, bahkan menyebabkan aliran besar pengungsi ke Eropa.
Keduanya juga bentrok mengenai masalah Suriah, di mana AS menuduh pemerintah Bashar al-Assad menggunakan bom barel pada sipil. Sementara Putin terus mendesak untuk bekerja sama dengan Suriah.
"Tak ada satu pun, tapi pasukan Assad benar-benar berjuang melawan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) dan kelompok teroris lain di Suriah," ungkap Putin.
Tapi dalam pidatonya, Obama tak secara eksplisit menyerukan penggulingan Assad. Ia justru menyarankan, mungkin pemerintahan transisi yang benar mungkin akan berhasil. Ini dilihat sebagai tanda AS mungkin bersedia, melihat Assad tetap dalam pemerintahan sementara waktu.
"Amerika Serikat siap untuk bekerja dengan bangsa lain, termasuk Rusia dan Iran untuk menyelesaikan konflik. Tapi kita harus mengakui tidak mungkin ada, setelah begitu banyak pertumpahan darah, begitu banyak pembantaian, kembali ke status quo pra-perang, " ujar Obama. Gita Amanda