REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha menilai, pemerintah seharusnya transparan terhadap hitung-hitungan harga bahan bakar minyak (BBM). Satya menilai, justru masyarakat harus diberikan pencerahan atas pola perhitungan agar ada saling percaya antara rakyat dan pemerintah.
Perhitungan BBM, lanjut Satya, tidak hanya mengacu pada harga minyak dunia, namun juga melihat naik turunnya nilai tukar rupiah. Satya melihat, kondisi Indonesia yang melakukan impor minyak mentah juga turut menjadi bahan pertimbangan tersendiri.
"Kami minta pemerintah, pertama konsisten . Kami sudah minta evaluasi dilakukan per 3 bulan atau 6 bulan, mestinya stimulus itu diumumkan kemarin, belum lama, sementara waktu evaluasi revisi harga BBM disampaikan 1 oktober itu lebih tepat. Kalau revisinya lagi, jadi tidak disiplin lagi," jelas Satya, Rabu (7/10).
Menurut Satya, penurunan harga BBM bisa kembali dilakukan apabila ada upaya lain untuk mendorong efisiensi. Salah satunya adalah dengan mengurangi komponen pajak karena ada PPN dan PPNBM.
"Namun, harus dipikirkan, pendapatan negara bisa berkurang dari pajak. Tapi kalau menurunkan itu bisa menggerakkan sektor riil, sektor industri, berarti penurunan revenue di migas tapi bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi di sisi lain. Itu perlu ada exercise-nya, ujar Satya.
Satya mengungkapkan, apabila memang diturunkan, pemerintah harus lebih terbuka tentang semua opsi ini. Keterbukaan pemerintah, dinantikan agar ada pengetahuan masyarakat atas semua pertimbangan BBM, termasuk harga minyak dunia dan kurs rupiah.
"Yang ada dibenak masyarakat, minyak dunia turun sekian persen, kok harga BBM tidak. Mereka lupa, komponen impor besar dan kurs rupiah jeblok," lanjutnya.