Ahad 11 Oct 2015 20:55 WIB

Meninggal di Rumah Lebih Damai Ketimbang Meninggal di Rumah Sakit

Red:
 Riset menunjukkan 70 persen warga Australia memilih meninggal di rumah, tapi hanya 14 persen saja yang melakukannya.
Foto: abc news
Riset menunjukkan 70 persen warga Australia memilih meninggal di rumah, tapi hanya 14 persen saja yang melakukannya.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Menghadapi sakaratul maut ditengah ketenangan rumah sendiri ternyata dapat mengakibatkan kematian yang lebih damai  serta dapat mengurangi kesedihan yang dirasakan kerabat yang ditinggalkan. Demikian sebuah penelitian baru menyimpulkan.

Kajian yang dilakukan oleh Institut Cicely Saunders, King’s College London mendapati pasien kanker yang sekarat dan meninggal di rumah meski mengalami tingkat kesakitan yang sama tapi mereka merasa lebih damai di sepanjang pekan terakhir hidup mereka dibandingkan dengan pasien yang menghadapi hari-hari terakhir hidupnya di rumah sakit.
 
Riset ini melibatkan kerabat dari sekitar 350 orang pasien kanker yang meninggal ini hasilnya telah dipublikasikan di BioMed Central. Setengah dari mereka meninggal di rumah sakit dan setengahnya lagi meninggal dunia di rumah.
 
Pemimpin dari penelitian ini, Barbara Gomes mengatakan pasien kerap takut berada di rumah, karena mereka yakin mereka akan membuat keluarganya tersiksa.
 
"Namun demikian, kami mendapati kalau rasa duka yang dirasakan kerabat mereka yang meninggal di rumah ternyata lebih berkurang sedikit,” tambahnya.
 
Dr Gomes mengatakan padahal dalam penelitian ini diketahui tingkat rasa sakit yang dialami kedua pasien sama.
 
"Banyak pasien kanker dibenarkan oleh rasa takut sakit. Penelitian ini menunjukan pasien yang meninggal di rumah tidak mengalami rasa sakit yang lebih besar ketimbang pasien yang meninggal di rumah sakit di mana akses ke obat penghilang rasa nyeri mungkin lebih banyak," katanya.
 
Penelitian sebelumnya menunjukkan kematian di rumah telah menurun, sementara kematian di rumah sakit dan rumah perawatan semakin meningkat. Namun demikian kebanyakan orang akan lebih memilih meninggal di rumah.
 
Kajian ini juga menyimpulkan kalau mayoritas orang berharap dapat meninggal di rumah, dan itu meyakininya kalau itu merupakan pengalaman yang lebih baik.
 
Warga Australia sendiri kebanyakan menolak untuk membahas masalah kematian, kurangnya percakapan dengan profesional kesehatan dan pelayanan masyarakat membuat sulit bagi warga Australia untuk memilih meninggal di rumah, kata Professor Hal Swerrisen dari  Grattan Institute.
 
"Faktor utama yang benar-benar menghentikan orang untuk memilih meninggal di rumah adalah tidak ada yang menemani melakukan percakapan,” kata Hal Swerissen.
 
Padahal hasil dari riset pribadi Professor Swerissen sendiri menunjukan 70 persen warga Australia memilih meninggal di rumah, tapi hanya 14 persen saja yang melakukannya.
 
Jumlah warga Australia yang meninggal dunia di rumah ini jumlahnya dua kali lipat besar daripada angka rata-rata di Selandia Baru, AS, Irlandia dan Perancis.
 
"Warga Australia mengaku jika mereka memiliki kesempatan mereka lebih memilih meninggal di rumah,” katanya.
 
"Mereka meyakini sejumlah hal yang dianggapnya sebagai kriteria kematian yang baik antara lain kemampuan untuk dikelilingi teman dan keluarga serta meninggal dalam perawatan yang baik –sehingga mereka memiliki kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal dan menyelesaikan urusan mereka,”
 
"Mereka ingin meninggal didalam situasi yang membuat mereka nyaman,”
 
Namun menurutnya hal ini sulit dilakukan ketika jaminan dukungan dari layanan komunitas masih kurang.
 
"Menjadi perawat pasien itu bisa sangat membuat seseorang tertekan – perlu upaya yang luar biasa besar untuk mendukung seseorang,” kata Professor Sweissen.
 
"Kami mengajukan pertanyaan yang sangat jelas dalam riset ini mengenai apa yang diperlukan untuk membuat keinginan meninggal di rumah tercapai – mereka lebih menekankan pada tersedianya program dukungan berbasis komunitas.
 
Professor Swerissen mengatakan staf medis juga tidak selalu memberikan percakapan yang baik dengan pasien atau keluarga pasien yang sekarat.
 
Menurutnya hal itu juga turut membuat pengobatan radiasi semakin beresiko, misalnya pengobatan tersebut dalam situasi akhir seharusnya dapat memperpanjang hidup seorang pasien, tapi yang terjadi justru sebaliknya malah mempercepat pasien meninggal.
 
Oleh karena itu menurut Swerissen, sejumlah pertanyaan yang harus diajukan staf rumah sakit kepada pasien yang sedang sekarat antara lain "Apakah menurut
Anda penting untuk meninggal di rumah dengan keluarga dan korban? Dalam situasi seperti apa kita perlu menghentikan pengobatan dan apa yang bisa membuat anda mulai merasa nyaman?”
 
Laporan dari Institut Grattan, Dying Well,yang dirilis tahun lalu menunjukan dengan investasi senilai $237 juta, warga Australia dapat meningkatkan jumlah warga Australia yang menggunakan alat penopang hidup untuk meninggal di rumah.
 

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement