Rabu 21 Oct 2015 11:21 WIB

Tak Ada Masa Depan Bagi Rohingya di Myanmar

Rep: Gita Amanda/ Red: Ani Nursalikah
Pengungsi Rohingya saling berpelukan dan menangis usai melaksanakan salat Idul Fitri di penampungan sementara Desa Blang Ado, Kuta Makmur, Aceh Utara, Jumat (17/7).   (Antara/Rahmad)
Pengungsi Rohingya saling berpelukan dan menangis usai melaksanakan salat Idul Fitri di penampungan sementara Desa Blang Ado, Kuta Makmur, Aceh Utara, Jumat (17/7). (Antara/Rahmad)

REPUBLIKA.CO.ID,  NAY PYI TAW -- Penyelidikan terbaru kelompok Amnesty International mengungkapkan, korban tewas di Laut Andaman tahun ini lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya.

Di tengah ancaman kematian di lautan, Muslim Rohingya yang putus asa justru memberitahu The Telegraph mereka akan mengambil risiko melarikan diri dari kamp dengan perahu.

Yasmin salah satu warga Rohingya mengatakan sedang menunggu dimulainya musim baru untuk berlayar bagi para pengungsi Rohingya yang teraniaya di Myanmar. Ia bahkan mengesampingkan ancaman bahaya bagi keluarganya jika memilih berlayar dengan perahu.

Bahaya bukan sekadar karena perahu reyot tersebut umumnya penuh sesak manusia hingga bisa tenggelam di Lautan Andaman. Lebih jauh lagi, ada risiko kematian karena kelaparan, penyakit, dan pemukulan selama pelayaran.

Setelah mendarat di Thailand, Malaysia atau Indonesia ada 'neraka' lain yang akan mereka hadapi. Salah satunya permintaan uang tebusan oleh geng pedagang manusia.

Tapi, keputusasaan dan kondisi menyedihkan mereka sebagai minoritas Muslim yang tak memiliki kewarganegaraan membuat pelayaran jadi pilihan mereka. Yasmin pun mengatakan bertekad bergabung dengan gelombang baru 'manusia perahu'.

Penduduk kamp-kamp pengungsi kumuh di Myanmar itu mengatakan kepada The Telegraph, agen geng perdagangan manusia aktif merekrut mereka dengan janji-janji kehidupan yang lebih baik di luar negeri. Saat musim hujan berakhir tahun ini, mereka siap berlayar lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement