REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dua penasihat khusus PBB memperingatkan peningkatan advokasi kebencian agama terhadap Muslim di Myanmar, terutama menjelang pemilu mendatang.
Penasihat memperingatkan dalam pernyataan bersama, advokasi tersebut dilakukan para pemimpin agama, kelompok agama dan partai politik. Mereka mungkin menhasut untuk melakukan kekerasan dan ini dilarang oleh hukum internasional.
Penasihat pencegahan genosida Adama Dieng dan penasihat perlindungan warga sipil Jennifer Welsh mengatakan, proses pemilu yang mengarah ke pemilihan Ahad nanti telah jauh meminggirkan agama minoritas, terutama Muslim Rohingya yang telah dilucuti hak pilihnya dan dilarang di parlemen.
Penasihat mendesak pemerintah Myanmar mengutuk dan melawan setiap pidato yang menghasut diskriminasi, permusuhan dan kekerasan berbasis agama atau etnis. Para penasihat mendesak rakyat Myanmar dapat menjadikan pemilihan untuk menunjukkan potensi negara itu menjadi bangsa toleransi dan perdamaian.
Bangsa yang mayoritas beragama Budha ini memulai transisi dari kediktatoran menuju demokrasi pada 2011, menempatkan pemerintah sipil yang mendapat pujian internasional karena dengan cepat melaksanakan reformasi politik dan ekonomi.
Radikal nasionalis Budha mengambil keuntungan dari kebebasan baru berekspresi. Mereka menganiaya minoritas Rohingya dalam waktu lama.
Dieng dan Welsh mengatakan, empat bagian dari undang-undang yang dikenal sebagai 'Undang-undang Perlindungan Ras dan Agama' adalah langkah mundur untuk perlindungan hak-hak dasar di Mayanmar.
Mereka mendesak para pemimpin yang akan membentuk pemerintahan baru menunjukkan komitmen terhadap demokrasi, supremasi hukum dan hak asasi manusia. Juga untuk mengatasi ketegangan komunal di negara bagian Rakhine di mana sebagian Rohingya tinggal.
"Jika tidak, Myanmar akan menghadapi risiko kekerasan lebih lanjut dan kejahatan yang berpotensi lebih serius," kata mereka memperingatkan.