REPUBLIKA.CO.ID, JUBA -- Puluhan anak-anak telah meninggal dalam perang saudara di Sudan Selatan, tempat pertempuran melanda kendati persetujuan-persetujuan politik dicapai untuk mengakhiri hampir dua tahun perang itu.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan pertempuran di negara bagian Unity, Sudan Selatan utara, telah berkecamuk dengan konsekuensi-konsekuensi terhadap warga sipil dalam beberapa pekan belakangan, dengan menambahkan bahwa 40 ribu orang juga menderita kelaparan serius.
Laporan yang dikeluarkan Kantor PBB untuk Kordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) Jumat (6/11) malam menyebutkan secara detil pembunuhan-pembunuhan di satu kawasan dalam kurun waktu dua pekan.
Dikatakan bahwa di distrik Leer, di bagian selatan Unity, pertempuran antara pasukan pemerintah dan pemberontak mengakibatkan sedikitnya 80 warga sipil terbunuh antara 4 dan 22 Oktober.
Hampir tiga perempat dari mereka yang terbunuh adalah anak-anak -- sedikitnya 57 orang meninggal di Leer -- sedangkan lebih 50 kasus perkosaan digunakan sebagai "senjata perang", menurut laporan itu.
Kedua pihak dituding melaksanakan pembunuhan etnis massal, merekrut dan membunuh anak-anak serta melakukan perkosaan di berbagai wilayah, penyiksaan dan pengusiran untuk "membersihkan" kawasan-kawasan dari lawan-lawannya.
Para pakar kelaparan dari Klasifikasi Fase Keamanan Makanan Terpadu (IPC) telah memperingatkan suatu "risiko kongkrit dari kelaparan" sebelum akhir tahun jika pertempuran terus berlanjut dan bantuan tidak mencapai kawasan-kawasan yang paling kena dampak perang.
Perang saudara mulai berlangsung pada Desember 2013 ketika Presiden Salva Kiir menuduh mantan deputinya Riek Machar merencanakan kudeta. Tentara dan pemberontak berulang-ulang menuding satu sama lain melanggar sebuah gencatan senjata yang dicapai pada 26 Agustus dan ditengahi secara internasional. Persetujuan itu merupakan yang kedelapan, bertujuan mengakhiri perang yang hampir berlangsung dua tahun.