REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Selatan dan Jepang, Rabu (11/11), membicarakan sengketa panjang tentang perempuan-perempuan Korea yang dipaksa menjadi budak seksual selama Perang Dunia II.
Pembicaraan itu adalah yang pertama terkait isu tersebut sejak pemimpin kedua negara berjanji mendorong sebuah penyelesaian yang dapat diterima bersama.
Pertemuan di antara pejabat kementerian luar negeri kedua belah pihak dilakukan setelah Presiden Korea Selatan Park Geun-Hye dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe bertemu di Seoul, pekan lalu.
"Sulit untuk menjelaskan secara rinci, bisa dikatakan kami bergerak satu langkah untuk mencapai tujuan kami," ujar salah satu pejabat pemerintah usai pertemuan, seperti dikutip oleh Kantor Berita Yonhap.
"Kami sepakat meneruskan pembicaraan dalam beberapa bidang yang masih mendasari perbedaan," ujar pejabat yang tidak disebut namanya itu.
Korea Selatan menuntut permintaan maaf resmi dan kompensasi untuk para perempuan Korea yang dipaksa menjadi budak seksual di rumah-rumah pelacuran tentara militer Jepang selama Perang Dunia II.
Sedangkan Jepang menyatakan sengketa tersebut telah diselesaikan melalui kesepakatan normalisasi 1965, dimana Tokyo memberikan total pembayaran sebesar 800 juta dolar AS sebagai hibah atau pinjaman kepada mantan koloninya itu.
Kedua pihak telah melakukan 10 kali pembicaraan terkait masalah itu sejak April 2014, tanpa ada kemajuan nyata. Pertemuan hari ini dilaksanakan dalam kerangka yang sama namun lebih mengawasi secara ketat adanya indikasi pertemuan Park-Abe menyinggung perkara tersebut.
Dalam pertemuan pertama mereka, Park dan Abe berjanji mempercepat konsultasi dan penyelesaian sengketa yang disebut Park sebagai "sandungan terbesar" untuk normalisasi hubungan kedua negara.