REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Sebuah studi di Inggris menunjukkan, mayoritas Muslim Inggris mengaku bahwa mereka pernah menyaksikan perilaku diskriminasi kepada sesama Muslim. Diskriminasi atas Muslim ini disebutkan sebagai akibat pemberitaan di media dan ucapan para politisi.
Survey yang dilakukan oleh Komisi HAM Islam ini menyebutkan bahwa 6 dari 10 muslim di Inggris pernah melihat dengan mata kepala sendiri kejadian Islamophobia diarahkan ke warga Muslim.
Hasil survey ini menunjukkan bahwa Islamopobhia di Inggris meningkat dibanding survey terakhir pada 2010 lalu. Saat itu, 4 dari 10 muslim mengaku pernah menyaksikan Islamophobia.
Enam dari 10 Muslim di Inggris yang disurvei oleh Islam Komisi Hak Asasi Manusia (IHRC) mengatakan mereka telah melihat Islamophobia diarahkan pada orang lain, naik dari empat di 10 ketika survei ini pertama kali dilakukan pada tahun 2010.
Dalam survey tersebut, disebutkan bahwa perilaku diskriminasi atas muslim juga terjadi dalam bentuk kekerasan baik fisik ataupun verbal. Islamophobia juga terjadi di tempat kerja.
Survey ini dilakukan dengan wawancara terhadap 1.780 orang dan mengulangi pertanyaan yang diajukan pada tahun 2010. Para pemimpin organisasi Muslim di Inggris juga mengkhawatirkan tingginya Islamophobia di Inggris.
Dalam studi lain juga disebutkan bahwa giringan media dan opini yang dibentuk oleh politisi dan pihak keamanan justru memperburuk situasi. Mereka mengusung nama terorisme, dan Islam tersudutkan.
Survey juga menyebutkan, lebih dari dua pertiga dari Muslim mengatakan mereka telah mendengar komentar anti-Islam oleh politisi, dan justru terjadi pembiaran oleh politisi tersebut atas tindakan-tindakan Islamophobia. Hampir sembilan dari 10 pemikiran diskriminasi didorong oleh cara Muslim digambarkan dalam liputan media.
Temuan terjadi di tengah kontroversi tentang tindakan keras yang direncanakan pada apa yang dikatakan pemerintah adalah pandangan ekstrem, yang saat ini halal, yang sebagian Muslim Inggris dan bahkan kepala polisi memperingatkan akan menciptakan keterasingan lanjut.
Responden juga mengaku, diskriminasi juga terjadi secara halus dengan verbal. 63 persen koresponden misalnya, mengaku pernah dalam sebuah percakapan seolah-olah dianggap rendah atau dinilai 'bodoh'. Angka ini naik dibanding tahun 2010 di mana saat itu 38 persen responden mengalami hal ini.
Lebih dari separuh juga mengaku pernah diabaikan saat melakukan aktivitas sehari-hari, seperti ditolak oleh pelayan toko, restoran, atau kantor pelayanan publik.
Sementara tiga perempat responden mengaku pernah ditatap oleh orang asing dengan cara yang aneh. Laporan IHRC ini menghubungkan korelasi antara media dan politik dalam menggiring Islamophobia.
"Lebih dari separuh percaya bahwa politisi membenarkan tindakan diskriminatif terhadap umat Islam. Persepsi ini menunjukkan bahwa wacana politikdipandang beracun dan berkontribusi menyalahkan muslim," demikian pernytaan IHRC seperti ditulis Vikram Dodd dari The Guardian, Jumat (13/11).
Sejak 2001, pemerintah Inggris disebutkan tengah berusaha melawan terorisme dengan mengatakan bahwa aksi ini didorong oleh esktrimis satu golongan tertentu. Media barat pun ikut meramaikan hal ini.
Hasil survey IHRC ini sempat dikritik oleh Henry Jackson Society. HJS menyebutkan bahwa justru kebijakan pemerintah Inggris saat ini sedang berupaya menekan aksi diskriminasi dan Islamophobia.
Sementara itu, mantan Uskup Agung Canterbury, Rowan Williams menyambut baik hasil survey ini. Rowan menilai, suka tidak suka hasil survey menunjukkan bahwa aksi Islamophobia di Inggris semakin meningkat.
"Apa yang dijelaskan di sini adalah celaan serius untuk sebagian cita-cita manusiawi masyarakat kita dan nilai-nilai," kata Rowan.
Prof Hukum Ian, dari University of Leeds, juga menyebutkan bahwa laporan ini memang menunjukkan adanya permusuhan oleh politik dan media. Akibatnya, kekerasan terhadap Muslim bertambah.