REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Untuk kedua kalinya tahun ini, warga Muslim di Prancis mengaku takut menuai dampak atas pembantaian di jalan-jalan Paris yang dilakukan oleh beberapa penganut Islam radikal.
Kekerasan mengejutkan yang terjadi pada Jumat, saat kelompok milisi bersenjata membunuh 129 orang dan melukai 352 orang lainnya dalam serangkaian serangan di gedung konser, bar, dan stadion, segera menjadikan negara dengan minoritas Muslim terbanyak di Eropa itu sebagai sorotan.
Sebanyak lima juta populasi Muslim di Prancis memandang betapa mudahnya menghubungkan serangan di Paris Jumat malam lalu dengan serangan di kantor majalah satir Charlie Hebdo dan sebuah swalayan Yahudi yang menewaskan 17 orang pada Januari.
Dalam beberapa pekan berikutnya, tindakan anti-Muslim seperti penggambaran grafiti di masjid-masjid dan penghinaan terhadap perempuan berkerudung marak. Observatorium Nasional Islamofobia mencatat peningkatan 281 persen insiden pada kuartal pertama 2015 dibandingan kuartal pertama 2014.
Sebuah situs web Muslim, Saphirnews, melaporkan Muslim Prancis kembali menjadi korban tambahan terorisme. Pada Sabtu pagi, sebuah salib berwarna merah darah dilukis di dinding sebuah masjid di sebelah timur Paris.
Slogan "Prancis, bangkit!" juga dilukis di dinding sebuah masjid selatan Prancis dan "Kematian bagi Muslim" tertulis di dinding sekitar Evreux sebelah utara Paris, lapor koran Le Parisien.
"Kami tidak mengerti apa yang terjadi. Ini hanya semakin memundurkan kami," kata Ismael Snoussi, seorang jamaah di masjid Luce, sebuah kota di luar Chartres dimana salah satu penyerang tragedi Jumat lalu, tumbuh dan dibesarkan.