REPUBLIKA.CO.ID, DOUMA -- Dalam beberapa pekan terakhir, Osama Nasser, salah satu penduduk Douma, 10 km dari Damaskus, Suriah selalu bangun di pagi hari sambil mengucap Alhamdulillah.
Ia dibangunkan suara bom pertama setiap harinya. "Kami masih hidup hari ini," katanya.
Douma telah menjadi sasaran intens serangan udara Rusia dalam beberapa pekan terakhir. Biasanya bom pertama jatuh pada pagi hari sekitar pukul 08.00 dan berlangsung seharian. Namun, akhir-akhir ini, serangan udara juga dilakukan pada malam hari.
Ia dan keluarganya kadang bersembunyi di ruang bawah tanah yang mereka sewa untuk berlindung. Jika bosan, mereka keluar dan tinggal di atas. Ia mengaku berusaha dan berpura-pura tidak mendengar serangan bom.
"Saya tidak pernah berkata pada istri dan anak perempuan saya tentang ini, tapi saya bosan. Saya muak dengan segala hal tentang menyelamatkan diri, banyak orang terbunuh juga meski berada di bawah tanah," katanya.
Nasser masih pergi untuk bekerja. Ia bekerja untuk Syrian Nonviolence Movement, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berdiri pada 2011. Ia dan keluarganya masih bisa hidup berkecukupan, masih bisa sarapan dengan layak, makan siang dan makan malam.
"Kami bersyukur dengan apa yang kami punya sekarang, kami bisa beli susu untuk anak kami. Meski pernah kami berbulan-bulan tanpa kopi atau teh," tambahnya.
Nasser pindah ke Douma dari Damaskus pada 2013. Saat itu, kota ini seperti baru lahir kembali. Ada atmosfer yang penuh harapan. Ada sekolah alternatif, organisasi-organisasi baru seperti pasukan pertahanan sipil dan dewan kota Douma yang baru. Ada juga pusat kebudayaan, koran, majalah bahkan stasiun radio FM.
Jalanan pun masih dibuka sehingga orang-orang bisa pergi masuk dan keluar menggunakan transportasi normal. Namun, sejak Oktober tahun lalu peraturan diperketat hingga terlalu keras.
Baca Dampak Serangan Paris, Industri Penerbangan Eropa Turun