REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Negosiasi pendanaan soal pengendalian perubahan iklim global di Conference of the Parties (COP) 21 di Paris berlangsung alot. Pemerintah Indonesia bersama negara berkembang lainnya meminta agar pendanaan iklim berada di luar mekanisme Official Development Assistance (ODA).
"Karena kita sudah siap dengan sistem Measuring, Reporting and Verification atau MRV, bahkan MRV Indonesia sudah lebih maju ketimbang negara berkembang lain," kata Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Nur Masripatin dalam rilis yang diterima Republika.co.id pekan ini.
Dari sisi kerangka legal, lanjut dia, banyak negara berkembang menginginkan negara maju memegang prinsip punitive atau adanya sanksi apabila tidak memenuhi target. Namun mayoritas negara maju menginginkan sifatnya fasilitatif.
Dalam negosiasi juga berkembang wacana soal pendanaan selain dana publik. Di mana akan dibangun juga mekanisme dana yang berasal dari swasta. Selain itu, isu transparansi dana menjadi salah satu sorotan penting, terutama dalam kaitannya dengan pemenuhan komitmen masing-masing negara dalam menerapkan Intended Nationally Determined Contributions (INDC). Negara berkembang memerlukan peningkatan kapasitas menuju persamaan kerangka transparansi dana.
Utusan Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar menyayangkan terjadinya kesenjangan antar pernyataan kepala negara pada hari pertama Leaders Event dengan perkembangan negosiasinya. Proses negosiasi masih bersifat konvensional mempertahankan posisi negara masing-masing.
"Salah satunya adalah isu adaptasi yang menurut sebagian negara maju merupakan isu domestik atau lokal, sedangkan menurut negara berkembang, isu ini sudah menjadi lingkup global," ujarnya. Pada High Level Segment yang dimulai minggu depan, lanjut dia, Indonesia akan mengambil sikap tegas untuk mendorong tercapainya kesepakatan.