REPUBLIKA.CO.ID, EBEYE -- Liber Anej berjalan mengarungi air yang surut dengan membawa potongan beton dan potongan-potongan logam ke pantai untuk membangun kembali dinding laut sementara di depan rumahnya. Sayangnya, penghalang sementara seperti itu tidak cocok untuk laut yang naik secara teratur.
Air laut pasang membanjiri gubuk, membuat jalan-jalan berlumpur dengan air asin dan limbah mentah. Setiap hari kecuali Ahad, Anez bergabung bersama sekelompok laki-laki dan anak laki-laki untuk membangun kembali dinding laut sementara itu.
"Ini gila, aku tahu," kata pria berusia 30 tahun yang tinggal bersama 13 anggota keluarganya, termasuk orang tua, saudara dan anak-anaknya di sebuah rumah empat kamar dilansir dari New York Times.
"Tapi itu satu-satunya pilihan yang kami punya," lanjut dia.
Berdiri di dekat rumahnya, di tepi sebuah perkampungan kumuh yang dipadati gubuk timah, ia berkata, "Saya merasa seperti kami hidup di bawah air," ujarnya.
Dunia sibuk, pergi ke ruang konferensi hotel mewah di Paris, London, New York dan Washington. Menteri Luar Negeri dari Kepulauan Marshall Tony A deBrum menceritakan kisah orang-orang seperti Anej untuk menyampaikan kepada para pembuat kebijakan tentang adanya bahaya yang dihadapi negara pulau di Pasifik karena kenaikan permukaan laut. Juga untuk membentuk hukum dan keuangan dari PBB terkait perubaha iklim yang dirundingkan di Paris.
DeBrum menuntut tanggung jawab dari kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan oleh negara-negara kaya, kekuatan industri di lingkungan global. Sebab, banyak negara dataran rendah lainnya terancam oleh naiknya laut.