REPUBLIKA.CO.ID, MEKSIKO -- Vaksin pertama di dunia untuk mencegah serangan penyakit demam berdarah dengue (DBD) mendapat persetujuan di Meksiko. Hal ini dinilai sebagai langkah penting untuk memerangi DBD yang mengancam setengah populasi dunia.
Kepala perusahaan unit vaksin Perusahaan Sanofi Olivier Charmeil mengharapkan produk yang dinamai Dengvaxia tersebut dapat disetujui lebih banyak negara di Amerika Latin dan Asia. Vaksin tersebut dapat mencegah empat virus DBD yang muncul di Portugal, Prancis, Florida, dan Jepang baru-baru ini. Berdasarkan data WHO, virus tersebut membuat wabah DBD meledak.
Wabah DBD dinilai meningkat. Tidak seperti malaria, DBD dapat menginfeksi populasi urban yang lebih sejahtera di negara dengan pendapatan menengah di Amerika Latin dan Asia serta negara Afrika yang lebih miskin. Kekurangan air di Sao Paulo membuat warga setempat membuat penampungan air yang memungkinkan lebih banyak nyamuk berkembang sehingga epidemi DBD dengan ribuan kasus terjadi di tahun ini. Di Hawai, ada 139 kasus DBD yang sebagian besar diderita penduduk lokal.
Dengvaxia dibuat selama lebih dari 20 tahun dengan anggaran 1,5 triliun euro atau setara dengan 1,65 triliun dolar AS. Jumlah itu termasuk investasi manufaktur dan masih menunggu izin di 19 negara. Regulator Meksiko menyarankan vaksin tersebut digunakan untuk usia 9-45 tahun di wilayah yang endemik.
Dengvaxia diprediksi terjual hingga 1,4 triliun dolar AS pada 2020. Sanofi mengatakan Dengvaxia akan dijual dengan harga yang adil dan terjangkau. "Untuk beberapa negara mungkin akan didistribusikan gratis," ujar Wakil Presiden Tim Vaksin DBD Sanofi, Guillaume Leroy dikutip Bloomberg. Vaksin tidak direkomendasikan diberikan untuk anak-anak di bawah usia 9 tahun karena berdasarkan studi klinis vaksin tersebut kurang bekerja.
Demam berdarah diperkirakan telah menginfeksi 390 juta orang per tahun. Data WHO menunjukkan DBD membunuh kurang dari 1 persen orang yang terinfeksi.