REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Oposisi Suriah mengakhiri pertemuan dua hari mereka di Ibu Kota Arab Saudi, Riyadh dan kembali menyatakan Presiden Bashar al-Assad tak bisa menjadi bagian dari masa depan negeri yang dicabik perang itu.
Oposisi telah lama menuntut kepergian Presiden Bashar, sedangkan negara seperti Rusia dan Iran percaya masa depan Suriah mesti meliputi semua faksi di negeri tersebut.
Dalam satu pernyataan bersama yang dikeluarkan setelah pertemuan itu, sebanyak 100 wakil kelompok oposisi Suriah sepakat semua lapisan masyarakat Suriah perlu diwakili dalam sistem politik masa depan.
Pada Rabu (9/12), hari pertama pembicaraan oposisi Suriah dengan tuan rumah Arab Saudi berakhir tanpa kesepakatan mengenai masalah penting, termasuk masa depan Presiden Bashar al-Assad dalam masa peralihan.
Para tokoh oposisi juga berbeda pendapat mengenai apakah akan membubarkan lembaga militer dan keamanan Suriah saat ini atau memperbarui semuanya.
Konferensi dua hari di Riyadh tersebut adalah upaya terakhir untuk mengakhiri perpecahan lama kelompok oposisi dalam konflik itu, yang telah merenggut 250 ribu nyawa dan membuat jutaan orang lagi kehilangan tempat tinggal.
Semua peserta juga sepakat krisis Suriah harus diselesaikan melalui penyelesaian politik, dan berikrar untuk membangun kembali lembaga militer dan keamanan.
Mereka menolak kehadiran semua kelompok bersenjata dan petempur asing dan menuntut kepergian mereka secepatnya. Rusia, Amerika Serikat dan PBB berencana menyelenggarakan pembicaraan mengenai Suriah di Jenewa, Swiss pada Jumat sebagai upaya diplomatik untuk mengakhiri konflik yang terus berkecamuk.
Baca juga:
Tony Abbott Bela Komentarnya tentang Islam
Kepala Keuangan ISIS Tewas dalam Serangan Udara di Irak
Pria Melbourne Ini Perintahkan Istrinya Dibunuh di Afrika