Rabu 23 Dec 2015 07:30 WIB
Catatan Akhir Tahun Internasional

Usai Teror Paris, Legalkah Serangan Prancis di Suriah?

Warga mendoakan korban serangan Paris.
Foto: AP Photo/Mindaugas Kulbis
Warga mendoakan korban serangan Paris.

Oleh: Ani Nursalikah

Redaktur Internasional Republika.co.id

Presiden Prancis Francois Hollande menggambarkan serangan teror di Paris sebagai aksi perang yang harus dilawan tanpa ampun. Senin, 16 November 2015 Prancis meluncurkan serangan udara besar-besaran terhadap basis Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Raqqa, ibu kota de fakto para milisi di Suriah.

 

Masih lekat di ingatan, Jumat malam, 13 November 2015 Paris digemparkan dengan enam serangan terkoordinasi yang menewaskan 129 orang. Serangan di stadion Stade de France, Rue Bichat, Rue de la Fontaine au Roi, Rue de Charonne, Boulevard Voltaire dan gedung konser Bataclan.

 

Penasihat media Menteri Pertahanan Prancis, Mickael Soria mengatakan serangan udara melibatkan 12 pesawat, termasuk 10 jet tempur. Sebanyak 20 bom dijatuhkan dan menghancurkan pos komando kelompok milisi, pusat perekrutan milisi, sebuah gudang amunisi, dan sebuah kamp pelatihan teroris.

 

Operasi tersebut dilaksanakan berkoordinasi dengan pasukan Amerika Serikat menggunakan lusinan pesawat yang lepas landas dari Yordania dan Uni Emirat Arab.

 

Hollande mengatakan ini adalah teror terburuk sepanjang sejarah Prancis. "Ini horor. Ini tak pernah terjadi sebelumnya," kata dia. Hollande langsung mendeklarasikan keadaan darurat kota Paris dan meminta semua perbatasan ditutup.

 

Sejumlah pertanyaan mengemuka mengenai legalitas serangan terhadap ISIS. Ada banyak alasan mengapa sebuah negara meluncurkan operasi militer di sebuah negara berdaulat. Namun, aturan PBB belum secara khusus mengatur entitas non-negara seperti ISIS.

 

Serangan udara Prancis seakan memanggil negara-negara lain untuk melakukan intervensi militer yang lebih besar di Suriah, termasuk mengirim pasukan darat.

 

Tiga pekan setelah teror Paris, jet tempur Inggris RAF Tornado mengawali serangan udara Inggris di tanah Suriah untuk pertama kalinya pada Kamis 3 Desember.

 

Kementerian Pertahanan Inggris mengonfirmasi serangan udara ditujukan pada posisi ISIS. Serangan dilakukan berselang 57 menit usai parlemen menyetujui tindakan tersebut.

 

Sebanyak empat jet Tornado lepas landas dari pangkalan militer RAF Akrotiri, Siprus. Pangkalan militer itu digunakan sebagai landasan untuk menyerang ISIS di Irak setahun terakhir.

 

Besoknya, parlemen Jerman menyetujui penempatan personel militer di Suriah untuk melawan ISIS. Jerman tidak akan bekerja sama dengan tentara di bawah pemerintahan Bashar al-Assad. Tentara Jerman juga tidak akan terlibat langsung dalam pertempuran.

 

Jerman mengirim 1.200 personel, enam jet Tornado dan kapal pengawal untuk melindungi kapal induk Prancis Charles de Gaulle di Mediterania. Penempatan tersebut menjadi yang terbesar yang pernah dilakukan Jerman di dunia dan paling berbahaya sejak pemerintahan Gerhard Schröder mengirim tentara ke Afghanistan pada 2001.

 

Tapi apakah tindakan militer melawan ISIS itu sudah dibenarkan hukum?

 

Kebanyakan negara harus melalui proses politik sebelum melakukan operasi militer di luar negeri. Umumnya meminta persetujuan parlemen atau kongres, atau dalam beberapa kasus pemimpin negara bisa mengesahkan sendiri serangan.

 

Dengan mengesampingkan hal itu, aturan internasional bagi koalisi pimpinan AS di Suriah, termasuk Prancis dan Inggris, masih sulit ditentukan.

 

Umumnya, hukum internasional menyatakan semua negara dilarang menggunakan kekuatan militer terhadap negara lain, entah itu dalam bentuk serangan udara, pasukan angkatan laut atau pasukan darat. Serangan terhadap ISIS di Irak adalah sesuatu yang legal karena pemerintah Irak secara formal mengundang AS dan negara lain.

 

Pemerintah Suriah, yang hanya menguasai sejumlah wilayah, hanya mengizinkan Rusia menyerang ISIS. Hal ini membuat kehadiran militer Rusia dipertanyakan.

 

Hak untuk mempertahankan diri menjadi argumen yang diberikan sejumlah negara sebagai justifikasi melawan ISIS. Ini juga yang tampaknya menjadi justifikasi tindakan militer yang lebih besar dari Prancis dan negara lain.

 

Aksi teror di Paris tidak mengubah justifikasi ini. Tapi serangan udara Paris bisa jadi sesuai dengan Pasal 5 Pakta Washington yang menjadi dasar Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Dalam pakta itu disebutkan anggota pakta bisa saling membantu.

 

Hal ini sempat mengemuka setelah serangan 9/11. Ketika itu NATO setuju membantu tindakan militer AS jika benar serangan berasal dari luar negeri.

 

Namun, demi alasan apapun ISIS secara teknis bukanlah suatu negara. Dalam hukum internasional, tindakan melawan hal yang bukan negara dianggap bertentangan dengan hukum.

 

Dua ahli hukum internasional, Louise Arimatsu dari lembaga riset Chatham House, London dan Michael Schmitt dari US Naval War College pada Oktober 2014 di Guardian pernah mengatakan meski sebuah negara mempunyai hak mempertahankan diri bukan berarti bisa melakukan oprasi defensif terhadap kelompok bersenjata non-negara di teritorial negara lain.

 

"Ada dua pandangan dalam masalah ini. Sejumlah ahli beranggapan operasi melawan kelompok bersenjata seperti ISIS memerlukan persetujuan dari negara dimana ISIS berada. Ahli lain berpendapat, negara yang menjadi korban bisa terlibat dalam operasi militer terbatas untuk mencegah serangan lebih lanjut jika negara teritorial tidak bersedia atau tidak mampu mengakhiri aktivitas kelompok bersenjata," kata keduanya.

 

Serangan teror di Paris tidak diragukan lagi adalah kejahatan mengerikan. Namun, apakah peristiwa itu bisa dipakai sebagai pembenaran secara hukum tampaknya masih kontroversial.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement