Senin 21 Dec 2015 04:44 WIB

Tragedi Paris Buat Warga Inggris Lebih Ramah pada Muslim

Rep: C35/ Red: Nur Aini
Seorang wanita memberikan penghormatan untuk korban serangan Paris di depan Bataclan konser, Rabu 25 November, 2015, di Paris.
Foto: AP
Seorang wanita memberikan penghormatan untuk korban serangan Paris di depan Bataclan konser, Rabu 25 November, 2015, di Paris.

REPUBLIKA.CO.ID, BRITANIA -- Serangan di Paris pada bulan lalu ternyata tidak meningkatkan sentimen islamofobia di Inggris. Hal itu berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rob Ford dan Maria Sobolewska dari Universitas Manchester.

Penelitian tersebut justru datang ketika sedang ramai diperbincangkan pernyataan kandidat Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump yang akan melarang imigran Muslim masuk ke Amerika Serikat. Selain itu kebencian terhadap Muslim oleh Front Nasional dalam pilkada di Prancis juga menambah catatan buruk mengenai islamofobia di dunia Barat.

Namun ternyata kondisi itu dibantah hasil penelitian yang mereka keluarkan tersebut. Dalam penelitian tersebut menyebutkan bahwa sebelum tragedi Paris, 33 persen dari responden setuju bahwa 'Muslim memiliki banyak andil dalam memberikan sumbangsih budaya di Inggris', dibandingkan dengan 35 persen yang tidak setuju. Setelah tragedi Paris proporsi yang tidak setuju tetap sama, tetapi ada tambahan dua persen yang setuju dengan pernyataan itu.

Peningkatan persentase juga terjadi pada poin yang menyatakan orang Islam di Inggris sangat menghormati jalan hidup orang lain. Sebelum tragedi Paris sebanyak 23 persen dari responden setuju dengan pernyataan itu, dibandingkan dengan yang tidak setuju jauh lebih besar yaitu 53 persen. Namun setelah serangan Paris, proporsi positif meningkat menjadi 27 persen, sedangkan proporsi kontra dengan pernyataan tersebut sebesar 51 persen.

Sementara itu peningkatan besar terjadi pada poin apakah para responden merasa London adalah keragaman yang lebih baik atau lebih buruk karena para etnis dan agama. Pra-tragedi Paris, 40 persen merasa ibukota lebih baik untuk keragaman, sedangkan 32 persen berpikir itu jauh lebih buruk. Kemudian setelah tragedi Paris, proporsi dengan sikap positif menjadi 43 persen, namun proporsi yang merasa London adalah lebih buruk karena keragaman jatuh menjadi 24 persen.

Responden yang diambil mencakup seluruh Britania Raya, bukan hanya London. Hal ini menunjukkan bahwa terorisme di Paris mendorong warga Inggris untuk menyatukan London dan mempertahankannya sebagai simbol keragaman. Sebanyak 1.707 orang yang disurvei pada putaran pertama dari penelitian yang dilakukan antara 10 dan 12 November. Sedangkan penelitian pada putaran kedua melibatkan 1.621 responden, yang disurvei pada tanggal 17 dan 18 November. Survei kedua ini dilakukan secara online menggunakan YouGov panel.

"Penelitian ini menunjukkan bahwa ISIS gagal dalam menciptakan gap antara Muslim dengan non-Muslim di Britain," katanya, menurut Guardian, Ahad (20/12).

Sementara itu Sobolwska menambahkan bahwa toleransi merupakan nilai universal di Britania, itu adalah salah satu nilai yang mereka pegang teguh. Serangan Paris tersebut menurut dia tidak membuat para responden berubah pikiran, justru hal itu semakin membuat responden untuk meningkatkan toleransi terhadap umat agama lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement