REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Pemerintah Australia mengajukan rancangan undang-undang (RUU) yang akan memperberat ancaman hukuman praktik rekayasa laporan keuangan dan akuntansi perusahaan. RUU baru itu mengancam pelaku dengan hukuman penjara maksimal 10 tahun dan denda jutaan dolar AS.
Menteri Kehakiman Michael Keenan mengatakan RUU ini menarget praktik rekayasa akuntansi demi memberantas penyuapan dan korupsi di lingkungan perusahaan.
"Pemerintah ingin memastikan Australia memiliki aturan hukum yang ketat terhadap kejahatan kerah putih," ujar Keenan.
Aturan hukum mengenai laporan keuangan palsu ini merupakan bagian dari Perubahan UU Kejahatan 2015 yang telah diajukan ke parlemen pada Novermber lalu. Saat ini RUU tersebut masih dalam pembahasan komite Senat, yang diharapkan akan merampungkan pembahasan mereka pada awal Februari 2016.
Jika RUU ini lolos di parlemen, maka ini akan menjadi awal dari tindakan tegas terhadap para pelaku rekayasa laporan keuangan dan akuntansi perusahaan yang beroperasi di Australia dan atau perusahaan Australia yang beroperasi di negara lain.
Aturan itu di antaranya mencakup setiap orang yang memfasilitasi, menutupi atau menyamarkan dokumen-dokumen pembayaran dan keuntungan perusahaan secara tidak sah. Aturan ini dimaksudkan untuk mengungkap seluruh jenis pembayaran yang dilakukan perusahaan termasuk untuk penyuapan.
Ancaman hukuman bagi individu pelaku adalah maksimal 10 tahun penjara disertai denda hingga 1,8 juta dolar AS (sekitar Rp 18 miliar).
Sementara bagi perusahaan itu sendiri, ancaman hukumannya terdiri atas denda 18 juta dolar AS (Rp 180 miliar) atau denda tiga kali lipat dari keuntungan yang diperoleh dari kejahatan tersebut, atau denda 10 persen dari penghasilan tahunan perusahaan.
"Aturan baru ini dimaksudkan agar Australia memenuhi komitmennya di bawah aturan Konvensi Antipenyuapan, dan sekaligus menjadi pesan tegas pemerintah tidak menoleransi penyuapan dan korupsi dalam segala bentuknya," ujar Keenan.
Pimpinan Komite Antikorupsi pada International Bar Association, Robert Wyld menyatakan RUU ini sangat penting.
"Jika lolos, UU ini akan memastikan jika anda melakukan rekayasa pembukuan perusahaan untuk menutupi suap, anda terancam dipenjara," kata Wyld.
Direktur Eksekutif Transparency International Australia, Mike Ahrens, menyebut RUU ini diperlukan untuk mencegah praktik suap yang dilakukan perusahaan-perusahaan Australia dalam mendapatkan proyek.
Namun, pakar hukum dari Griffith University Profesor AJ Brown menyatakan Australia masih harus melakukan banyak hal lagi dalam pemberantasan korupsi. Menurut dia, tidak jelasnya perencanaan antikorupsi dari pemerintah masih menjadi problem tersendiri.