Jumat 25 Dec 2015 04:08 WIB

Wartawan Jepang Disandera di Suriah

ilustrasi
Foto: Youtube
ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Pemerintah Jepang mencari informasi setelah muncul laporan tentang seorang wartawan lepas asal Jepang menjadi sandera di Suriah dan mendapatkan ancaman dibunuh, kata Kepala Menteri Kabinet Yoshihide Suga pada Kamis (24/12).

Wartawan Tanpa Batas (RSF), yang bermarkas di Paris, pada pekan ini mengatakan mendapatkan informasi bahwa sekelompok bersenjata menyandera wartawan Yasuda Jumpei dan memulai hitung mundur untuk pembayaran tebusan, yang tidak disebutkan jumlahnya dan mengancam membunuh atau menjualnya ke kelompok lain jika permintaan mereka tidak dipenuhi.

RSF dalam pernyataan di laman resminya mengatakan bahwa Yasuda diculik pada Juli oleh kelompok bersenjata di wilayah dikuasai kelompok keras Front Nusra, cabang al Qaeda di Suriah, beberapa saat setelah memasuki Suriah pada awal bulan itu.

Lembaga wartawan itu mendesak pemerintahan Jepang melakukan hal diperlukan untuk menyelamatkan Yasuda.

Suga mengatakan pemerintah Jepang mengetahui tentang masalah tersebut namun tidak mengetahui perkembangan terbarunya.

"Dengan situasi permasalahan yang seperti itu, saya menahan diri untuk memberikan komentar terkait detailnya," katanya dalam jumpa pers.

"Keselamatan warga negara kami merupakan sebuah tanggung jawab yang penting bagi pemerintah, jadi kami melakukan setiap usaha dan memanfaatkan dengan baik setiap jaringan informasi," tambahnya.

Kelompok bersenjata IS/ISIS memenggal dua warga negara Jepang, seorang konsultan keamanan dan satunya seorang wartawan perang veteran, pemenggalan itu dilakukan pada awal tahun ini. Eksekusi yang kejam itu mendapatkan perhatian dari Jepang namun pemerintah mengatakan pada saat itu mereka tidak akan berunding dengan pegaris keras terkait pembebasan mereka.

Seiko Noda, seorang anggota parlemen senior dari partai yang berkuasa, berkata kepada media pada minggu ini bahwa kebijakan pertahanan Perdana Menteri Shinzo Abe yang bergeser untuk mengizinkan pihak militer Jepang untuk bertempur di luar negeri untuk yang pertama kalinya sejak 1945 dapat digunakan sebagai alasan untuk menyerang Jepang oleh para militan.

Noda berkeinginan untuk menjadi Perdana Menteri wanita pertama Jepang setelah masa jabatan Abe berakhir.

Undang-undang yang ditetapkan pada September akan mengizinkan pasukan Jepang untuk membantu negara-negara sekutu mereka seperti Amerika Serikat, di bawah serangan yang berdasarkan reinterpretasi konstitusi oleh pemerintahan Abe. Pertahanan kolektif seperti demikian dilarang oleh pemerintahan sebelumnya karena dianggap sebagai pelanggaran piagam pasca perang.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement