REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mendatangkan prospek pertumbuhan bagi pasar baru.
Sekitar 625 juta orang tidak pernah melihat kesempatan yang lebih baik dari ini. Namun sepertinya, 2016 masih menjadi tahun berat bagi Malaysia.
Tahun lalu Malaysia menjadi salah satu negara yang terlupakan. Mitra dagang terbesar dengan Cina ini mengalami perlambatan ekonomi.
Harga minyak yang dunia merosot, pajak baru barang dan jasa yang membuat belanja konsumen terbatas, serta skandal yang terjadi dalam perusahaan investasi negara 1Malaysia Development Berhad (1MDB) membayangi Malaysia. Faktor negatif yang samadiprediksi akan terus membebani defisit fiskal ekonomi negara tersebut.
Terjunnya harga minyak, krisis politik di sekitar 1MDB, dan ketidakpastian pengganti gubernur bank sentral Zeti Akhtar Aziz memunculkan kekhawatiran.
"Kami memperkirakan, defisit fiskal 2016 berpotensi membuat target 3,1 persen produk domestik bruto (PDB) meleset mengingat kemungkinan lemahnya pajak penghasilan serta pajak barang dan jasa," ujar analis Bank Amerika Merril Lynch serti dilansir dari The Strait Times, Rabu (6/1).
Pendapatan fiskal kemungkinan akan terkena imbas dari lemahnya pemasukan minyak dan gas mengingat kontribusi dividen Petronas dipangkas dari 26 miliar Ringgit Malaysia tahun lalu ke ke 16 miliar Ringgit Malaysia.
"Harga minyak sawit yang lebih tinggi akan memberikan beberapa dukungan bersamaan dengan investasi pemerintah yang terus berlanjut di sektor infrastruktur," kata analis BMI Research Shuhui Chia.
Pasar terbuka ASEAN memberikan Malaysia kesempatan untuk berkompetisi. Depresiasi ringgit masih menjadi perhatian mengingat adanya kenaikan suku bunga di Amerika Serikat dan depresiasi Yuan.
Perdana Menteri Malaysia Najib Razak disarankan fokus pada kasus 1MDB dan politik sehingga pertumbuhan perekonomian Malaysia dapat keluar dari bayang faktor negatif.