REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Harga minyak jatuh ke level terendah dalam 14 tahun pada Kamis kemarin. Normalnya, harga tersebut tidaklah ideal buat negara-negara produsen minyak, termasuk Saudi.
Namun, menjadi pertanyaan mengapa Saudi memilih untuk tetap bertahan dengan harga tersebut dan enggan memangkas produksinya. Analis Oppenheimer's James Schumm mengaitkan harga minyak rendah tersebut dengan persaingan di kawasan antara Iran dan Saudi.
"Kami telah lama yakin, Saudi mengerek minyak ke level rendah untuk membuat Iran menderita. Adapun persaingan untuk memukul produsen minyak shale AS merupakan keuntungan kedua atau tersier," ujarnya.
Kendati harga minyak rendah turut memukul Saudi, dampak lebih besar akan terasa bagi Iran. Hal itu, kata Schumm, akan menghalangi kemampuan Iran untuk menyulut ketegangan sektarian melawan Saudi.
"Esensinya mereka memaksa Iran untuk memilih antara tingginya harga minyak, kesejahteraan ekonomi, atau keinginan untuk menggelorakan Syiah di kawasan Timur Tengah. Kami yakin Arab Saudi dan Iran bertempur tanpa tank dan jet, tapi dengan harga minyak."
Hubungan Saud-Iran memanas setelah Riyadh mengeksekusi ulama Syiah Nimr al-Nimr. Namun, sejumlah pengamat lain melihat hal berbeda. Seorang analis Barat mengatakan, Saudi sengaja memicu konflik dengan Iran untuk menaikkan harga minyak. Hal itu wajar mengingat pendapatan Saudi semakin terpukul menyusul anjloknya harga minyak.
Baca juga, Tiga Teori di Balik Konflik Saudi-Iran.