REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pasar keuangan global tampaknya akan bereaksi berlebihan terhadap penurunan harga minyak dan risiko penurunan tajam ekonomi Cina. Sebelumnya, Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) telah memangkas proyeksi pertumbuhan global untuk ketiga kalinya dalam waktu kurang dari setahun.
Dilansir dari Reuters pada Rabu (20/1), Kepala Ekonom IMF, Maurice Obstfeld juga mengatakan, strategi ekonomi Cina secara keseluruhan, termasuk mata uangnya merupakan hal yang penting. Namun, harga minyak juga menjadi faktor risiko lainnya.
"Harga minyak menempatkan tekanan pada eksportir minyak, tapi ada hikmahnya bagi konsumen di seluruh dunia, sehingga itu bukan negatif sejati," ungkapnya.
Harga minyak tergelincir ke level terendah sejak tahun 2003 pada Selasa, sedangkan data menunjukkan ekonomi Cina tumbuh pada kecepatan yang terlemah dalam seperempat abad tahun lalu.
Obstfeld mengatakan Cina menghadapi risiko penurunan pertumbuhan ekonomi lebih jauh, meskipun data terakhir dari negara dengan ekonomi nomor 2 di dunia itu telah sesuai dengan harapan IMF.
Tapi prospek akan tergantung pada seberapa baik pemerintah Cina mengelola rebalancing ekonominya.
"Komunikasi yang jelas dari strategi kebijakan secara keseluruhan termasuk sehubungan dengan nilai tukar yuan sangat penting, baik untuk stabilitas dalam negeri dan stabilitas luar negeri," kata Obstfeld.
Tekanan deflasi jelas tetap di Eropa, kata Obstfeld. Ia mencatat bahwa Bank Sentral Eropa telah mengatakan siap untuk mengambil tindakan lebih lanjut, seperti pelonggaran kuantitatif tambahan.
"Jadi kita akan mengantisipasi," katanya.