Rabu 20 Jan 2016 12:37 WIB

Kisah Frank Faulner yang Selamat dari Serangan di Starbucks Cafe

Red:
 Pos Polisi Sarinah tempat ledakan bom pada Kamis (14/1).   (Republika/Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Pos Polisi Sarinah tempat ledakan bom pada Kamis (14/1). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Frank Faulner adalah salah seorang pengunjung di Starbucks Cafe di Jalan MH Thamrin saat pelaku bom bunuh diri meledakkan dirinya di sekitar lokasi tersebut, 14 Januari lalu. Faulner mengalami luka gores namun rekannya, Johan Kieft, cedera berat dan kini masih dirawat di Singapura.

Faulner dan Kieft saat itu sedang asyik ngobrol saat tiba-tiba pelaku datang, duduk di meja sebelah, dan meledakkan rompi yang berisi bahan peledak.

Dalam wawancara dengan ABC, Faulner mengatakan pelaku tampaknya sengaja menghampiri meja mereka karena merekalah orang asing di antara pengunjung cafe saat itu.

Faulner yang warga negara Jerman berprofesi sebagai konsultan sedangkan rekannya Johan Keift warga negara Belanda dan bekerja di kantor PBB.

Johan Kieft tergeletak akibat terkena serpihan yang diakibatkan ledakan di Starbucks cafe, 14 Januari 2016. (Foto: Istimewa)

Johan Kieft tergeletak akibat terkena serpihan yang diakibatkan ledakan di Starbucks cafe, 14 Januari 2016. (Foto: Istimewa)

Ledakan itu mengakibatkan empat orang meninggal dan 20-an lainnya luka-luka beberapa di antaranya kritis.

Kedua sahabat ini ngobrol tentang liburan mereka masing-masing dan tiba-tiba "Muncul cahaya yang disusul bunyi ledakan," katanya.

"Saya merasakan seperti ditampar dari sisi kanan wajah saya dan terasa sangat panas dan berbau mesiu yang membakar kulit dan rambut," kata Faulner.

Dia mengaku sudah pasrah dan merasa tak akan selamat, namun belakangan dia berhasil membuka kedua matanya.

Saat mencoba bangkit, Faulner terpeleset di serpihan kaca dan sempat melukasi lengan kanannya. 

Namun rekannya, Kieft, yang justru mengalami cedera berat dan kini masih dirawat intensif di salah satu rumahsakit di Singapura, namun diharapkan kondisinya akan membaik.

"Rekan saya ini masih terduduk di kursi di depan saya, menatap saya," jelas Faulner.

"Saya balas tatapannya, namun dia masih tetap seperti itu, dan saya berteriak, ayo pergi, cepat, ada bom. Johan, ayo cepat. Tapi dia tidak bergerak dan tidak bereaksi sama sekali," tutur Faulner memaparkan situasi pasca ledakan. 

Faulner mengatakan saat mencoba lari dia menyadari bagian kanan tubuhnya kena api dan begitu banyak serpihan kaca berserakan.

Dia mengaku mendengar ledakan lainnya di luar kafe dan mengambil keputusan untuk berlari ke arah berbeda.

Faulner mengaku tidak bisa menolong rekannya itu yang memang tubuhnya jauh lebih besar.

"Saya saat itu yakin dia tidak akan meninggal karena dia masih sempat menatap saya. Saya kira dia begitu syok," ujarnya.

"Saya kelihatannya tidak mengalami luka. Saat itu saya belum tahu bahwa bom yang meledak itu berisi paku dan sekrup," tambah Faulner.

'Risikonya sama'

Faulner sejak kejadian itu terus didampingi istrinya, Bivitri. Dia mengatakan tidak ingin orang lain ketakutan keluar rumah gara-gara peristiwa ini.

"Risiko mengalami serangan bom sama saja di Sydney, dengan di Berlin atau di Jakarta," ujar Faulner lagi.

Dia mengaku diberitahu oleh pihak kepolisian di Jakarta bahwa pelaku serangan bom itu mengenakan rompi berisi bahan peledak yang dipicu secara manual dengan menggunakan tangan.

Faulner berharap para korban yang selama dari peristiwa ini bisa mendapatkan layanan pengobatan post traumatic stress.

Dalam wawancara dengan ABC Faulner tidak ingin ditampilkan wajahnya sebagai upaya berjaga-jaga, menghindari siapa tahu tahu ada teroris yang bisa mengenalinya.

 

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement